Thursday 8 September 2016

Apakah Anak Kecil Wajib Zakat Fitrah Dan Zakat Harta ?

zakat bagi anak
Tanya : Apakah anak yang belum akil baligh wajib mengeluarkan zakat fitrah ?

Jawab : Saya sudah sering menyinggung permasalahan yang ada kaitannya dengan zakat, rukun Islam ke empat. Mulai dari jenis kekayaan atau benda-benda yang wajib dizakati, kriteria orang-orang yang berkewajiban, dan tak ketinggalan pula berbagai aturan teknis mengeluarkannya. Karena itu saya tidak perlu mengulang lagi pada kesempatan ini, kecuali hal-hal yang saya anggap perlu. 

Pembahasan akan ditunjukkan langsung pada inti pertanyaan. Dalam hal ini zakat fitrah bagi anak yang belum akil baligh. Sedangkan pada bagian akhir saya akan menyinggung juga zakat harta, mengingat dalam kenyataannya tidak sedikit anak-anak karena mendapat warisan rezeki tidak terduga, memiliki kekayaan melebihi 1 (satu) nishab. 

Jelas, zakat fitrah adalah wajib hukumnya. Dasar hukum tersebut diambil dari Al-Quran, hadis, dan ijma para ulama. 

Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan dari sahabat Ibn Umar ra. bahwasanya Rasulullah Saw. mewajibkan zakat fitrah 1 (satu) sha’ kurma atau 1 (satu) sha’ gandum atas orang yang merdeka, hamba, baik laki-laki maupun perempuan besar ataupun kecil, dari kalangan muslimin. Adapun dalil ijma dari dulu hingga sekarang tidak ada seorang ulama pun mengingkari kewajiban zakat fitrah. 

Ada beberapa kesimpulan yang bisa ditarik dari hadis tersebut. Di samping menjelaskan kedudukan hukum zakat fitrah, hadis tersebut juga menerangkan beberapa jumlah yang harus dikeluarkan dan kepada siapa zakat fitrah dibebankan. Jumlahnya adalah 1 (satu) sha‘ atau kurang lebih dua setengah (2,5) kilogram makanan pokok daerah setempat.

Pihak yang berkewajiban mencakup muslimin secara keseluruhan termasuk di dalamnya anak-anak yang belum akil baligh. Demikian pertanyaan apakah zakat fitrah diwajibkan atas anak yang belum akil baligh, terjawab sudah. 

Namun zakat fitrah di sini tidak dibebankan langsung kepada anak tersebut. Orang tuanyalah yang diwajibkan memenuhinya dengan hartanya sendiri atas nama anaknya. Kecuali kalau anak tersebut memiliki harta, zakat fitrah diambil langsung dari hartanya. 

Demikian antara lain keterangan dalam kitab I’anah Ath-Thalibin Syarah Fath Al-Mu’in pada pembahasan zakat fitrah. Jika zakat fitrah diwajibkan atas anak yang belum akil baligh, apakah hal yang sama juga berlaku untuk jenis zakat lain ? Dengan kata lain, apakah jika dia mempunyai sebidang tanah yang hasilnya telah mencapai 1 (satu) nishab, juga wajib dipungut zakat atasnya? 

Di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat, antara yang mewajibkan dan yang tidak. Yang mewajibkan, seperti ulama Madzhab Syafi’i, lebih melihat zakat dari segi fungsinya, yakni membantu orang yang kekurangan dalam masalah ekonomi (li daf’i al-hajah al-faqir) dan sifat hartanya (al-mal al-zakawi). 

Dasar hukum mereka adalah qiyas (analogi), yakni menyamakan suatu perkara dengan perkara lain dalam hal hukum karena ada ilah (alasan yang sama). 

Untuk lebih jelasnya semua ulama sepakat zakat diwajibkan atas orang akil baligh. Menurut Madzhab Syafi’i (illah) adalah an-numuw, yang artinya hartanya berkembang dan bertambah.

Alasan yang sama juga ditemukan pada harta anak kecil. Karena hartanya juga berkembang dan senantiasa bertambah, zakat diwajibkan juga atasnya. Lain dari itu zakat disyariatkan dalam rangka ikut membantu mencukupi kebutuhan kaum yang memerlukan. Dengan demikian, tidak aneh jika hal ini dibebankan juga atas anak kecil. Malah sekilas hal itu lebih baik mengingat kebutuhan anak kecil relatif sedikit, sehingga jika dikurangi sebagian untuk zakat sama sekali tidak memberatkan. 

Karena masih kecil, orang tuannyalah yang berkewajiban mengeluarkan zakat dari harta anaknya yang belum akil baligh tersebut.

Sebaliknya, ulama yang tidak mewajibkan dalam hal ini Madzhab Hanafi, lebih memandang diri anak yang belum akil baligh dan mengaitkannya dengan masalah taklif. Argumentasi mereka, zakat adalah murni ibadah (ibadah mahdhah), sehingga anak kecil dan karena belum mukallaf maka belum terbebani untuk menunaikannya. 

Perbedaan sudut pandang pada obyek permasalahan yang sama seperti itulah yang sering menimbulkan terjadinya perbedaan dalam mengambil keputusan hukum. 

Melihat kondisi perekonomian masyarakat yang masih mengandung banyak ketimpangan dan kesenjangan di sana-sini, yakni pada saat kemakmuran masih jauh dari harapan, kiranya pendapat pertama layak diperhitungkan dan lebih relevan. Penjelasan lebih lanjut bisa didapatkan pada kitab Al Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba ‘ah.

Kapan Waktu Pembayaran Zakat Menurut Fikih Islam ?

waktu haram menbayar zakat

Tanya : Bapak Kiyai, terlebih awal terimakasih atas termuatnya persoalan saya ini. Dan ucapan yang tidak terhingga juga saya sampaikan atas kesediaan Kiyai untuk menjawab pertanyaan berikut ini. Sebagai orang awam, saya ingin menanyakan, kapan zakat mulai boleh dibayarkan? 


Jawab : Meskipun merupakan ibadah tersendiri, tetapi zakat fitrah tidak mungkin dilepaskan hubungan dari rangkaiannya dengan Ramadhan. Salah satu fungsi zakat fitrah adalah untuk menyempurnaka ibadah puasa. Idealnya selama berpuasa kita menjaga anggota badan dan perbuatan dosa. Jika maksiat mengurangi kesempurnaan puasa, maka zakat fitrah menutup kekurangan itu. Lagi pula, dengan berpuasa diharapkan tumbuh empati dan kepedulian terhadap orang tidak mampu. Zakat fitrah adalah salah satu langkah awal pengejawantahan kepedulian itu, yang perlu ditindaklanjuti pada masa selanjutnya. (A1-Fiqh Al-Islami II, 921). 

Zakat fitrah adalah salah satu dari beberapa jenis zakat yang dalam rukun Islam terdapat dalam urutan ketiga, sesudah syahadat dan shalat, dan disusul puasa Ramadhan dan haji. Ketentuan umum zakat juga berlaku pada zakat fitrah. Tetapi zakat fitrah juga punya ciri-ciri (spesifik) sendiri, di antaranya bahwa ia berlaku umum, tidak hanya untuk kalangan kaya raya saja. 

Kewajiban zakat berlaku bagi setiap pribadi yang berkesempatan menemui Ramadhan dan Idul Fitri, sesedikit apapun kesempatan itu diterimanya. Karena dalam sistem penanggalan (kalender) hijriyah peralihan hari terjadi pada saat matahari sempurna terbenam. Maka dapat kita rumuskan mereka yang telah atau masih hidup sekian detik menjelang Maghrib hari terakhir Ramadhan dan masih hidup sekian detik sesudahnya, dengan sendirinya terkena kewajiban zakat fitrah. Laki-laki maupun perempuan, tua-muda (bahkan bayi baru lahir), sehat atau sakit, terkena kewajiban zakat, selagi mempunyai kelebihan dan yang dibutuhkan dirinya beserta orang ditanggung nafkahnya. Mereka yang tidak punya sumber pendapatan sendiri (seperti anak-anak), kewajiban zakatnya ditunaikan oleh penanggung nafkahnya (atau kepala keluarga dalam sistem sosial kita). 

Sebuah hadis riwayat Bukhari menyampaikan kesimpulan bahwa besaran zakat fitrah adalah 1 (satu) sha‘ bahan makanan pokok setempat. Dalam konteks Indonesia, itu berarti sekitar dua setengah (2,5) kilogram beras per orang. Kewajiban ini sebetulnya mulai berlaku setelah masuk waktu Idul Fitri (Maghrib hari terakhir Ramadhan), karena pada waktu itulah dapat dipastikan apakah seseorang terkena kewajiban zakat atau tidak (karena sudah meninggal menjelang Maghrib, misalnya). Tetapi kita tidak harus menunggu malam lebaran tiba untuk menunaikan zakat. Kepada kita diberikan masa ta’jil (membayar sebelum jatuh tempo) yang dimulai sejak masuknya bulan Ramadhan. 

Jadi, terserah pada Anda, apakah akan menunaikannya pada awal, pertengahan, akhir, atau waktu manapun dalam bulan Ramadhan. Hanya saja, patut dipertimbangkan bahwa zakat fitrah disyariatkan dengan maksud utama agar kaum fakir maupun miskin memiliki cukup makanan pada hari raya sebagaimana himbauan Rasulullah : 
Artinya : “ Berilah mereka kecukupan, hingga mereka terhindar berkeliling ke sana-kemari (dan meminta-minfa) pada hari ini.”

Artinya, lebih utama mendekatkan pelaksanaan zakat pada hari raya, tepatnya setelah Shubuh sebelum shalat Idul Fitri, karena hal itu akan lebih tepat guna. Pembayaran zakat setelah shalat sampai matahari terbenam hukumnya makruh. Jika diundur lagi setelah Maghrib hukumnya haram kecuali ada udzur. Tetapi hukum makruh dan haram itu hanya berlaku pada tindak penundaannya. Kewajiban zakatnya sendiri tetap ada sampai tunai dibayarkan. (Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al Arba‘ah I, 628-629) .

Menyerahkan Sendiri Zakat kepada Fakir Miskin
 
Tanya : Bolehkah zakat saya diserahkan langsung kepada fakir miskin ?
 
Jawab : Adapun menyampaikan zakat fitrah langsung kepada fakir miskin (tanpa melalui amil atau panitia zakat) boleh-boleh saja. Diperkenankan pula diwakilkan kepada orang lain, karena zakat termasuk ibadah kebendaan (amaliyah). Lain halnya dengan ibadah fisik, seperti shalat, yang harus dikerjakan sendiri. (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh III, 1972-1976).

Wednesday 7 September 2016

Zakat Bagi Seorang Janda Beserta Anak Yatim (Dialog Wanita Dan Islam)

Zakat Bagi Seorang Janda Beserta Anak Yatim (Dialog Wanita Dan Islam)

Wanita bertanya : Apakah seorang janda yang mempunyai beberapa anak yatim diwajibkan untuk mengeluarkan zakat? 

Islam menjawab : Pada prinsipnya bila jumlah kekeayaan yang dimiliki sudah mencapai satu hisab dan usia waktunya satu tahun, maka ia berkewajian untuk mengeluarkan zakat. Kemudian didalam syariah islam juga tidak pernah membeda-bedakan, apakah yang memiliki itu orang yang masih bersuami, janda ,anak-anak, remaja atau gadis yang belum menikah. Jadi sekalipun seorang janda dan mempunyai beberapa anak, tetapi bila kekayaannya telah mencapaisatu hisab, maka ia wajib untuk mengeluarkan zakat.

Sebagaimana dijelaskan didalam suatu riwayat dari Abdullah bin Umar, Bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa menjadi wali seorang anak yatin yang berharta, maka hendaklah memperniagakan kekayaan itu bagi dirinya, jangan membiarkan harta itu hingga terkurangi oleh zakat.” (Riwayat Ad Daruquthni).

Kemudian riwayat yang lain juga menegaskan, bahwa Nabi Saw Bersabda :
“Perniagakanlah Harta anak-anak yatim (dengan mengatasnamakan kepadanya), sehingga tidak hilang atau dihabiskan oleh zakat”. (riwayat Syafi’i) 

Jadi dari uraian diatas jelas,bahwa status harta itu,apakah itu milik yatim ataupun tidak, tergantung suami yang telah meninggalkan istrinya tadi. Apakah sebelum meninggal itu ia telah mewasiatkan kekayaan ataupun belum sama sekali, tetapi meskipun harta kekeayaan itu telah diwasiatkan kepada anaknya (yatim) dan sudah mencapai satu nisab dan lewat setahun, maka ia wajib menzakatinya.

Sumber : Buku Dialog Wanita dan Islam "Imam turmudzi"

Tuesday 6 September 2016

Hukum Wanita Muslim Berzakat (Dialog Wanita dan Islam)

Hukum Wanita Muslim Berzakat (Dialog Wanita dan Islam)

Wanita bertanya : Apakah kewajiban zakat itu juga berlaku bagi kaum wanita?

Islam menjawab : Sebagaimana dijelaskan didalam suatu riwayat yang bersanad dari Abu Bakar ra,yang berbunyi :” inilah kewajiban zakat yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Saw, atas kaum muslimin”(Riwayat Bukhori). Sedangkan yang dimaksud kaum muslimin diatas adalah mencakup lapisan orang islam, baik itu laki-laki ataupun wanita,dewasa atau anak-anak. Jadi kaum wanita itu juga mempunyai kewajiban untuk berzakat ,bila mereka mempunyai kekayaan yang telah mencapai nisab.

Perbandingan Zakat Petani Dan Pedagang Menurut Fikih Islam

bab zakat, zakat islam, hukum zakat, rincian zakat, tata cara zakat
Tanya : Begini Kiyai menurut saya antara nishab zakat padi (700 kg/ketika panen) dan nishab perdagangan atau yang sejenis (seharga 94 grarn/tahun) kurang memberikan rasa keadilan. Hal itu mengingat antara petani dan pedagang terdapat perbedaan dalam arti pedesaan dan perkotaan. Apalagi tingkat perekonomian yang berbeda jauh, belum lagi tingkat persaingan harga si petani padi yang jauh lebih rendah. Mengapa kewajiban. zakat si petani mencapal 5% atau 10% sekali panen sedangakan pedagang hanya 2,5% dalam setahun. Di manakah tingkat perbedaannya dan apakah ketentuan tersebut bisa ditafsirkan kembali yang lebih adil? (Ahmad Zulfa, Semarang) 

Jawab : Sebagai salah satu rukun Islam, zakat adalah fardhu‘ain dan merupakan kewajiban ta‘abudi. Zakat adalah ibadah sosial yang formal, terikat oleh syarat dan rukun. Dalam Al Quran perintah zakat sama pentingnya dengan perintah shalat. Namun demikian, kenyataannya rukun Islam yang ketiga tersebut belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. 

Pengelolaan dan distribusi zakat di masyarakat masih memerlukan bimbingan baik dari segi syariah maupun perkembangan zaman. Seperti zakat hasil bumi, profesi dan lain-lain yang masih menjadi kontroversi. 

Ketika kita menyebut petani atau pertanian, maka yang tergambar dalam benak kita adalah hasil bumi. Hasil bumi di negeri kita ini sangat beragam, karenanya berkaitan dengan zakat terlebih dahulu saya sampaikan hasil bumi macam apa yang di kenai wajib zakat. Dalam hal ini ada perbedaan madzhab empat, sebagai berikut :
  1. Menurut Imam Abu Hanifah, setiap yang tumbuh di bumi, kecuali kayu, rumput dan tumbuh-tumbuhan yang tidak berbuah, wajib dizakati.
  2. Menurut Imam Malik, semua tumbuhan yang tahan lama dan dibudidayakan manusia wajib dizakati kecuali buah-buahan yang berbiji seperti buah jambu pir dan lain-lain.
  3. Menurut Imam Syafi’i, setiap tumbuh-tumbuhan makanan yang menguatkan, tahan lama dan dibudidayakan manusia wajib di zakati.
  4. Menurut Imam Ahmad bin Hambal, biji-bijian, buah-buahan, dan rumput yang ditanam wajib di zakati. Begitu pula tanaman-tanaman lain yang mempunyai sifat yang sama dengan tamar, kurma, buah tin dan mengkudu wajib pula untuk dizakati. 

Sedangkan untuk hasil bumi yang lain seperti tembakau dan cengkih wajib dizakati apabila diperdagangkan. Dengan demikian, ketentuannya sama dengan zakat tijarah (perdagangan) bukan zakat ziraah (hasil bumi).

Dalam kitab-kitab kuning, nishab padi adalah 5 (lima) wasak. Sedangkan nishab harta dagangan adalah sama dengan nishab emas murni (24 karat) yaitu 20 (dua puluh) dinar. Berdasarkan ukuran. yang telah dikonversikan dalam ukuran yang biasa kita pakai, nishab padi adalah sekitar 1323,132 kg (bukannya 700 kg) dengan zakat 5% atau 1/20 setiap kali panen. Jadi, kira-kira 66,156 kg setiap 1323,132 kg. Sementara nishab emas atau barang dagangan adalah 77,58 gr dengan zakat 2,5% atau 1/40. Artinya, 1,9395 gr setiap barang dagangan senilai 77,58 yang telah mencapai haul (satu tahun). Kalau ada yang mengatakan 94 gr (tepatnya 93,096), maka itu adalah standar emas 20 (dua puluh) karat. (lihat dalam kitab-kitab atau buku konversi Indonesia). 

Melihat aturan itu dengan kondisi ekonomi domestik semacam ini, rasanya memang patut untuk mengatakan kurang adil karena di satu sisi petani yang mendapatkan rezekinya dengan usaha sangat susah-payah dan biaya mahal ternyata dikenai zakat yang relatif tinggi. Sementara para pedagang yang mendapatkan rezekinya lebih mudah ternyata dikenai zakat lebih rendah dan petani. 

Kalau kita runut secara historis, ada beberapa alasan sampai ditentukan prosentase sedemikian rupa. Pertama, tingkat kepayahan pedagang saat itu sangatlah jauh dibandingkan dengan para petani. Kalau petani hanya menanam, merawat (kalau perlu) kemudian menunggu hasilnya, maka pedagang saat itu haruslah berjalan ratusan kilometer bahkan sampai menyebarang ke negara lain dan perlu waktu berbulan-bulan atau tahun untuk menjajakan dagangannya. Kedua, risiko yang ditanggung para pedagang lebih tinggi dibandingkan dengan para petani. Kalau peani kemungkinannya hanya rugi modal (itu pun kemungkinannya sangat kecil), maka pedagang bisa lebih dari itu. Ia bisa mengalami kebangkrutan karena adanya fluktuasi harga dagangannya, belum lagi keamanan jiwa dan harta dagangannya di perjalanan. Ketiga, komoditas pertanian biasanya berupa kebutuhan kebutuhan pokok sehingga harganya akan konstan dan pasti dibutuhkan. Sementara dalam perdagangan, tidak demikian. 

Terlapas dan kondisi di atas, masalahnya adalah bagaimana ketika kita melihat praktik perdagangan dan pertanian dalam konteks zakat di Indonesia yang dari aspek sosial ekonomi maupun aspek syariat terasa kurang relevan dan membuat tanda tanya besar?

Secara teologi, kita yakin bahwa Islam adalah agama yang universal untuk seluruh umat di semua belahan dunia. Pernahkah kita membayangkan kondisi pertanian di luar Indonesia, negara negara maju misalnya? Dan pernahkah kita membayangkan sistem perekonomian selain Indonesia? Di negara-negara agraris dan negara maju, petani adalah warga negara yang makmur (kaya dan bekecukupan), karena komoditas pertanian tidak memiliki keterpautan harga terlalu jauh dengan barang yang bukan kebutuhan pokok. Kondisi ini berbeda dengan di Indonesia yang terpaut sangat jauh. Gambarannya kalau di negara lain nilai 1 (satu) ton padi sama dengan sepeda motor baru, maka di Indonesia perlu berpuluh-puluh ton untuk itu. Kalau secara obyektif, dibandingkan dengan negara-negara lain patut dikatakan kebijakan ekonomi kita yang kurang berpihak pada dunia pertanian bahkan sepertinya petani-petani itulah yang memberikan subsidi kepada pemerintah dan seluruh rakyat berupa harga beras yang sangat murah jika di bandingkan dengan biaya produksinya. Bagaimana mungkin 1 (satu) kg beras hanya bernilai seperempat bahkan seperlima dolar? Pernahkah kita membayangakan kehidupan petani jika harga beras setengah dolar saja? 

Waihasil, terlepas dari zakat itu ibadah ta‘abbudi, hukum-hukum atau ketentuan-ketentuan yang berlaku universal untuk seluruh dunia semacam zakat harus juga ditinjau secara universal. Jangan sampai terjebak dan terkooptasi kondisi lokal. Sebab apabila tinjauan itu berangkat dari kondisi lokal, bukan tidak mungkin di belahan bumi yang lebth luas timbul negasi dan pertanyaan Anda.

Wednesday 23 September 2015

Cara Menyembelih Dan Memotong Hewan

Tanya : Saya menyembelih dengan membaca basmalah, shalawat, dan tasyahud. Apakah cara ini sudah benar?

Jawab : Kita umat Islam, dalam kehidupan sehari-hari sudah sangat terbiasa dengan penyembelihan binatang, seperti ayam, kambing, kerbau dan lain-lain. Dalam rangka penyelenggaraan walimah al-urus, aqiqah (Jawa: kekah) anak yang baru lahir, menunaikan qurban, atau untuk keperluan konsumsi.

Islam memandang seluruh alam semesta diciptakan Allah untuk kepentingan umat manusia, agar mampu mempertahankan hidupnya. Bumi yang kita tempati dapat mencukupi kebutuhan manusia. Kalau ada kelaparan, hal itu lebih dikarenakan ketidakmampuan atau ketidakmauan mengolah, atau distribusi yang kurang merata. (baca juga : persoalan seputar qurban)

Oleh karena itu para ulama ushul fikih menetapkan satu kaidah, segala sesuatu yang bermanfaat dan tidak berdampak negatif, pada dasarnya halal dikonsumsi “al-ashl fi ma yanfa’ al-hill’, kecuali terhadap dalil dari Al-Quran atau hadis yang melarang. Dengan demikian, kita mengenal pembagian dan pemilahan antara yang halal dan haram.

Salah satu sebab mengapa suatu benda (hewan atau benda mati) diharamkan, adalah karena najis, misalnya bangkai (mayat). Bangkai adalah hewan yang mati tanpa proses penyembelihan secara syar’i. Dengan demikian, hewan yang halal tidak boleh dikonsumsi atau dimasak sebelum lebih dahulu disembelih.

Kita tidak boleh memotong salah satu bagian kambing (misalnya bagian kaki) lalu memasaknya. Karena anggota atau bagian yang diambil dari binatang yang masib hidup dihukumi bangkai. Di sinilah urgensi pengetahuan mengenai tata cara penyembelihan yang benar bagi kaum muslimin. 

Penyembelihan hanya diperuntukkan bagi hewan-hewan yang halal. Penyembelihan hewan yang diharamkan seperti anjing atau babi tidak dapat membuatnya halal.

Penyembelihan tidak sekadar bertujuan membunuh binatang. Meski setiap sembelihan secara syar’i berakhir dengan kematian, ada aturan-aturan yang harus dipenuhi yang menyangkut siapa, dengan apa, dan bagaimana penyembelihan dilakukan.

Penyembelihan dilakukan oleh orang Islam dengan semua benda tajam yang bisa mengalirkan darah selain kuku dan gig.

Artinya: “Suatu benda (yang dipergunakan untuk menyembelih) yang dapat menumpahkan darah dan menyebut nama Allah (ketika menyembelih), maka makanlah kamu (hewan sembelihan itu). Tidak gigi dan kuku. Adapun gigi itu sejenis tulang dan kuku itu pemotong orang Habsyi (kafir).” (Muttafaq alaih)

Mengenai caranya, terdapat perbedaan di kalangan utama. Dalam hal ini ada 3 (tiga) organ leher yang perlu diperhatikan, yaitu mari (jalan makanan dan minuman), khulqum (jalan nafas), dan wadajain (jiwa otot yang mengapit marl dan khulqum).

Imam Malik berpendapat khulqum dan wadajain harus dipotong. Imam Syafi’i berpendapat, yang harus dipotong adalah khulqum dan mari, sedangkan wadajain hanya sunah belaka. Berbeda pula pendapat Imam Abu Hanifah. Menurut beliau yang dipotong adalah khulqum, mari, dan salah satu wadajain.

Berdasarkan kaidah al khuruj min al-khilaf, mustahab, yang terbaik adalah memotong semuanya, ‘khulqum, mari, dan wadajain. Sengaja ketiga organ itu yang dipilih, karena dapat mempercepat kematian sehingga penderitaan hewan saat disembelih tidak terlalu lama dan lebih mempermudah keluarnya darah dari tubuhnya. Dan dalam kaitan ini Rasulullah memerintahkan agar pisau yang digunakan diasah terlebih dahulu. Demikian halnya dengan pembacaan basmalah, wajib menurut Abu Hanifah kecuali lupa. Sementara Imam Syafi’i cenderung menganggapnya sunah (Mizan Al-Kubra).

Dalam surat Al-An’am ayat 118, Allah berfirman:
Artinya: “Maka makanlah olehmu (hewan) yang disembelih dengan nama Allah.” (QS. A1-An’am: 118)

Lalu dilanjutkan pada ayat 121:

Artinya: “Dan janganlah kamu makan hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah, sungguh yang demikian itu adalah fasik. “(QS. A1-An’am: 121)

Kedua ayat tersebut diperkuat hadis dan sahabat Adiy Ibn Hatim yang mengatakan Rasulullah pernah bersabda:

Artinya: “Kalau kamu melepaskan anjing buruanmu maka sebutlah nama Allah.” (Muttafaq ‘alaih)


Hadis itu cukup panjang dan masih ada terusannya, dan bisa kita dapatkan, misalnya dalam kitab Bulugh Al-Maram yang banyak dipakai oleh madrasah-madrasah Tsanawiyah maupun Aliyah. (baca juga : hukum patungan membeli hewan qurban)

Dalam kedua ayat dan hadis tersebut ada perintah menyebut nama Allah ketika menyembelih dan melepaskan anjing buruan kita. Perbedaan pendapat bermula dari tiadanya kesepakatan dalam menilai, apakah perintah tersebut wajib (li al-lbahah jam’u al-jawami’). Di samping itu perbedaan dapat pula timbul dari penafsirannya yang berbeda terhadap ayat di atas. (Tafsir Ash-Shawi).

Dalam Madzhab Syafi’i, selain membaca basmalah juga dianjurkan membaca shalawat. Adapun mengucapkan tasyahud dalam kitab-kitab fikih Madzhab Syafi’i, sepengetahuan penulis tidak ada keterangan yang menganjurkan.

Dengan demikian, menyembelih dengan membaca basmalah dan shalawat asal memenuhi syarat-syarat di atas -dengan memotong khulqum dan mari, menurut Madzhab Syafi’i- sudah benar. Tasyahud tidak perlu diucapkan. Kalau diucapkan tidak berpengaruh pada keluhan hewan yang kita sembelih.


Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Bolehkah Patungan Membeli Hewan Qurban ?

Tanya : Seperti kita maklumi bersama, harga seekor sapi jutaan rupiah. Apalagi yang besar dan gemuk. Karena itu, saya mempunyai gagasan membeli sapi bersama-sama dengan orang lain secara patungan. Pertanyaan saya, apakah hal itu dperbolehkan?  (Muntafi’un, Demak)

Jawab : Bulan Dzulhijjah termasuk bulan istimewa. Paling tidak terdapat dua alasan. Pertama, pada bulan itu terdapat Idu Adha. Kedua, di dalamnya pula ibadah haji, rukun Islam kelima ditunaikan. Idul Adha yang jatuh pada tanggal 10 Zulluijjah, tidak dapat dilepaskan dari ibadah Qurban, yakni penyembelihan hewan dalam rangka beribadah kepada Allah sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat-nikmat-Nya. Istilah qurban diambil dan bahasa Arab al-qurban, yang secara harfiah mempunyai arti “dekat”. Sebab dengan penyembelihan hewan qurban, seseorang berusaha mendekatkan diri pada Allah.

Perintah berqurban dijumpai dalam A1-Qur’an, surat Al-Kautsar, ayat 2, yang berbunyi, “Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berqurbanlah”.

Di samping itu, banyak hadis yang menjelaskan berbagai aspek tentang qurban. Berkurban hukumnya sunat muakkad. Sehingga sangat dianjurkan orang-orang yang secara ekonomi mampu membeli hewan kurban (Madzahib Al-Arba’ah, I, h. 717). Qurban merupakan salah satu mibadah sosial (al-’ibadahal-ijtima’iyah), yang manfaatnya tidak terbatas pada pelakunya. (baca juga : persoalan seputar qurban)

Di sinilah letak nilai lebih ibadah qurban dibandingkan dengan ibadah lain yang bersifat individual (al-’ibadah asy-syakhshiyah).

Tidak semua hewan dapat dijadikan qurban. Pertama-tama, hewan tersebut halal dimakan. Hewan yang halal banyak jenisnya Tetapi yang sah untuk berqurban menurut para ulama, terbas pada tiga jenis, yaitu unta, sapi/kerbau, dan kambing.

Itu pun masih ditamhah persyaratan mencapai umur minimal. Unta paling tidak harus berumur lima tahun. Sapi/kerbau berumur dua tahun. Kambing domba (adh dha‘n) telah berumur satu tahun. Kambing kacang (al-ma’z) paling tidak sudah genap berumur dua tahun. (Al-Madzahib Al-Arba’ah, I,h.71)

Selain itu, hewan qurban harus bebas dari cacat/penyakit yang dapat mengurangi daging. Tidak cukup berqurban dengan hewan yang buta, pincang, sangat kurus, sakit, dan lain-lain.

Ketentuan ini sepenuhnya bisa dimaklumi. Hewan yang sakit, di samping dagingnya kadangkala berbahaya bagi kesehatan, pada umumnya badannya kurus karena tidak tumbuh secara normal. Begitu juga hewan yang pincang dan buta.

Sedangkan hewan yang terlalu kurus, dagingnya sedikit. Padahal qurban dimaksudkan oleh Allah sebagai suguhan (dhiyafah) kepada hamba-hamba-Nya. (Madzahib A1-Arba’ah, I, h. 719).

Dan ketiga jenis di atas, unta yang paling utama. Disusul sapii kerbau dan kambing. Tetapi tujuh ekor kambing untuk satu orang masih lebih baik daripada seekor unta. Urutan ini berdasarkan jumlah daging yang dimiliki.

Unta lebih besar daripada sapi. Sapi lebih besar daripada kambing. Dengan pertimbangan yang sama, hewan yang gemuk lebih diutamakan danpada yang kurang gemuk. (Majmu’. VIII, h. 395)

Skala prioritas tersebut sejalan dengan salah satu kaidah fiqh yang berbunyi “al-muta’addiy afdhal min al-qashir” (ibadah yang dirasakan manfaatnya oleh orang banyak lebih utama daripada ibadah yang dirasakan oleh sedikit atau satu orang). Hewan yang lebih besar atau gemuk, dagingnya dapat dirasakan oleh lebih banyak orang.

Manusia dalam masalah rezeki tentu saja berbeda-beda. Mengingat harga sapi relatif lebih mahal dan tidak terjangkau bagi kalangan tertentu, terlontar ide untuk membelinya secara patungan (al-isytirak) dengan orang lain. Menurut kitab-kitab fiqh Madzhab Syafi’i, Hanafi, dan Hanbali, tindakan ini diperbolehkan asalkan pesertanya tidak melebihi tujuh orang (Al-Majmu’, VIII, h. 398, Madzahib I, h. 721, Mausu’ah Al-Ijma I, h. 107)

Dalam satu hadis dari sahabat Jabir Ibnu Abdillah, beliau berkata: “Kami menyembelih bersama Rasulullah SAW. pada tahun Hudaibiyah, seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang”. (Subul As-Salam, IV, h. 95). Dalam hadis lain, Rasulullah SAW. bersabda: “Seekor unta untuk mencukupi tujuh orang dan seekor sapi mencukupi tujuh orang”.(Mausuah Al-Fiqh A-Islàmi; XIII, h. 330). Imam Al-Baihaqi, Sahabat Ali, Hudzaifah, Abi Mas’ud Al-Anshari, dan Aisyah juga berpendapat bahwa seekor sapi cukup untuk tujuh orang. (Majmu’, VIII, h. 399)

Dengan demikian, dapat saja tujuh orang sepakat membeli seekor sapi untuk keperluan qurban dan harganya ditanggung bersama, setiap orang membayar sepertujuh dari harga. Bahkan menurut madzhab Syafi’i, ketujuh orang terebut tidak disyaratkan berniat melakuakan qurban semua.

Jadi tidak tertutup kemungkinan, tiga dari mereka ikut patungan membeli sapi untuk keperluan konsumsi bukan berqurban.(baca juga : cara menyembelih dan memotong hewan)

Sehingga setelah disembelih, ketiganya mengambil bagian masing-masing, baru sisanya yang menjadi bagian empat orang menjadi daging qurban sesuai dengan niatnya semula.

Meskipun tujuh orang berqurban dengan seekor unta atau sapi secara patungan diperkenankan, para ulama berpendapat, satu orang berqurban seekor kambing lebih utama. (Majmu VIII, h. 395)

Kalau seekor sapi sudah mencukupi buat qurban tujuh orang, seekor kambing hanya untuk satu orang. Maka tidak boleh dua orang secara patungan membeli seekor kambing untuk berqurban bersama-sama. Sebab, tidak terdapat dalil yang memperbolehkan.


Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Persoalan Seputar Qurban

Tanya : Hewan apa sajakah yang dapat digunakan untuk berqurban dan bolehkan orang yang berqurban memakan dagingnya? Sekarang ini saya melihat bahwa banyak orang-orang yang menjual anggota tertentu dari hewan qurban semisal kulit, boleh apa tidak Kiai? (Nursalaim A’la, Wonokromo)

Jawab : Qurban dalam terminologi fikih sering disebut dengan udhhiyyah, yaitu menyembelih hewan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. mulai terbitnya matahari pada hari raya Idul Adha (yaum an-nahr) sampai tenggelamnya matahari di akhir hari tasyrik yaitu hari tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah.

Berqurban sangat dianjurkan bagi orang orang yang mampu karena qurban memiliki status hukum sunnah muakkadah, kecuali kalau berqurban itu sudah dinadzarkan sebelumnya, maka status hukumnya menjadi wajib. Anjuran berqurban banyak disebutkan dalam hadis di antaranya yang diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah bahwa tidak ada amal anak manusia pada hari nahr yang lebih dicintai Allah melebihi mengalirkan darah (menyembelih qurban). Sebelum anjuran itu dalam Al-Quran, Allah Swt. juga sudah menganjurkan hamba hamba-Nya untuk barqurban. Pesan ini termaktub dalam Al-Quran sebagai berikut: 

Artinya: “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah.”(QS. Al-Kautsar: 2)

Berqurban merupakan ibadah yang muqayyadah, karena itu pelaksanaannya diatur dengan syarat dan rukunnya. Tidak semua hewan dapat digunakan dalam arti sah untuk berqurban. Hewan yang sah untuk berqurban hanya meliputi an‘am saja yaitu sapi, kerbau, onta, domba atau kambmg, dengan syarat bahwa hewan-hewan tersebut tidak menyandang cacat, gila, sakit, buta, buntung, kurus sampai tidak berdaging atau pincang. Cacat berupa kehilangan tanduk, tidak menjadikan masalah sepanjang tidak merusak pada daging.

Dalam praktiknya, berqurban dapat dilaksanakan secara pribadi atau orang perorang dan dapat pula secara berkelompok. Setiap 7 (tujuh) orang dengan seekor sapi atau kerbau atau onta. Ketentuan ini didasarkan pada sebuah hadis dan shahabat Jabir sebagai berikut:

Artinya: “Nabi memerintahkan kepada kami berqurban satu unta atau satu sapi untuk setiap tujuh orang drin kami.” (Muttafaq‘alaih)

Adapun qurban kambing hanya dapat mencukupi untuk qurban bagi seorang saja. (Al-Iqna 277-278). (baca juga : hukum patungan membeli hewan qurban)

Berdasarkan perbedaan status hukumnya antara sunah dan wajib, distribusi daging qurban sedikit berbeda. Bagi mereka yang berqurban, boleh bahkan disunahkan untuk ikut memakan daging qurbannya, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran sebagai berikut:

Artinya: “Dan makanlah sebagian daripadanya (an‘am) dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orag yang sengsara lagi faqir. “ (QS. A1-Hajj: 28)

Begitu pula yang diceritakan dalam hadis bahwa Rasulullah memakan hati hewan qurbannya. Ketentuan diperbolehkan mengambil bgian dari hewan qurban adalah 1/3 dari hewan qurban. Adapun bagi mereka Yang berqurban karena wajib dalam hal ini nadzar, maka tidak boleh atau haram memakan dagingnya. Apabila dia memakannya maka wajib mengganti sesuatu yang telah dimakan dari qurbannya.

Lalu bagaimana kalau salah satu bagian hewan qurban itu dijual? Pada prinsipnya qurban adalah sedekah yang diperuntukkan bagi kaum dhu’afa, fakir miskin secara cuma-cuma. Karena itu, pemanfaatannya juga tidak boleh keluar dari batas-batas itu termasuk di dalamnya menjual anggota qurban. Dalam kitab Iqna’ disebutkan bahwa tidak diperkenankan menjual sesuatu dari hewan qurban berdasar pada sebuah hadis riwayat Hakim sebagaimana berikut ini:

Artinya: “Barangsiapa menjual kulit qurbannya, maka tidak ada qurban baginya.” (HR. Hakim)

Ini berarti penyembelihan itu hanya menjadi sedekah biasa tanpa mendapatkan keutamaan besar dari qurban. Tapi boleh bagi yang berqurban untuk mengambil kulitnya untuk dimanfaatkan menjadi sandal, sepatu, tempat air dan sebagainya. Namun demikian tetap saja tidak boleh dijual bahkan dianjurkan menyedekahkannya karena lebih utama. Tidak diperkenankan pula membayar tukang menyembelih hewan dengan bagian dari hewan qurban sebagai upah, semisal membayar tukang jagal dengan kulit qurban, kepala dan kakinya. (baca juga : cara menyembelih dan memotong hewan)

Daging qurban disyaratkan untuk dibagikan kepada fakir miskin dalam keadaan masih mentah atau tidak berupa masakan. Ketentuan ini mengandung maksud agar fakir miskin dapat secara bebas mentasharufkannya, apakah itu untuk dimasak sendiri ataukah untuk dijual karena pada dasarnya daging itu adalah hak mereka.

Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Tabir Wanita