Tuesday 25 October 2016

Hukum Mengucapkan "Sayyidina" Dalam Shalawat (Sebelum Nama Muhammad)

mengucapkan sayyidina sebelum nama nabi
Sepatutnya bagi orang-orang besar, terutama sekali bagi sayyidul anbiya’ wal mursalin yakni Nabi Muhammad Saw. diberikan laqab atau gelar dengan “Sayyidina” yang berarti penghulu atau junjungan kita. Hal ini dikarenakan Nabi kita Muhammad Saw. bukan hanya sebagai pemimpin dan junjungan ummat, melainkan juga sebagai penghulu sekalian nabi.
 
Kalau terhadap Nabiullah Yahya bin Zakaria Al-Qur’an memberikan gelar sayyid sebagaimana tersebut dalam surat Ali lmran ayat 39 :
“Dan beliau adalah sayyid, mampu menahan diri (dari hawa nafsu) dan juga seorang nabi dari keturunan orang-orang saleh”
 
Maka tentulah bahwa gelar itu lebih utama lagi diberikan kepada Rasulullah Saw.
 
Dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 67 Allah Swt. Berfirman :
“Mereka (para penghuni neraka) berkata Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mematuhi para pemimpin dan pembesar kami lalu mereka menyesatkan kami dan jalan yang benar”.
 
Dan dalam surat Yusuf ayat 25 :
“Wanita itu menarik baju Yusuf dari belakang hingga robek dan kedua-duanya menjumpai suami wanita itu secara tiba-tiba ada di depan pintu”.
 
Sedangkan dalam sebuah haditsnya Rasulullah Saw. Bersabda :
“Setiap anak Adam adalah sayyid. Seorang suami adalah sayyid bagi isterinya dan seorang isteri adalah sayyidah bagi keluarganya”.

Dalam tiga penjelasan dari Al-Qur’an dan Hadits diatas diterangkan bahwa pemimpin, suami dan bahkan semua anak Adam (manusia) dapat juga dikatakan sayyid. Kalau demikian keadaannya, maka apakah manusia yang paling tinggi harkat dan martabatnya di sisi Allah Swt. yakni junjungan kita Nabi Besar Muhammad Saw. tidak boleh disebut sayyid ? Maha benarlah Allah Swt. yang telah berfirman :
“Sesungguhnya bukanlah mata yang buta, akan tetapi yang buta adalah hati yang tersembunyi dalam dada”. (QS.Al-Haj : 46) 

Dalam Shahih Muslim terdapat sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah Saw. memberitahu para sahabatnya dimana pada hari kiamat nanti Allah Swt. akan menggugat para hamba-Nya dengan ucapan : “alam ukrimka wa usawwidka (Bukankah engkau telah Aku muliakan dan telah Aku jadikan sayyid ?)“ . Makna hadits ini bahwa Allah Swt. telah memberikan kemuliaan dan kedudukan yang tinggi kepada setiap manusia. Dan kau kenyataannya memang demikian, maka apakah manusia pilihan Allah yang diutus sebagai Nabi dan Rasul tidak jauh lebih mulia dan lebih tinggi kedudukan dan martabatnya daripada yang lain ? Kalau manusia biasa saja dapat disebut sayyid, apakah Rasulullah Saw. tidak boleh disebut sayyid.?
 
Demikian juga terhadap ahli baitnya, semua adalah sayyidina. Al-Bukhari meriwayatkan .bahwa Rasulullah Saw. pernah berkata kepada puteri beliau Siti Fatimah r.a :
“Wahai Fatimah, tidakkah engkau berpuas hati menjadi sayyidah wanita-wanita mukmin atau sayyidah para wanita ummat ini?”.
 
Dalam shahih Muslim terdapat hadits senada yang berbunyi :
“Wahai Fatimah, tidakkah engkau berpuas hati menjadi sayyidah wanita-wanita mukmin atau sayyidah kaum wanita ummat ini ?.

Berdasarkan dua hadits riwayat Bukhari dan Mushm diatas, maka kita terbiasa menyebut puteri Rasulullah Saw., Siti Fatimah az-Zahra dengan sebutan sayyidatuna atau sayyidati yang dalam bahasa Indonesia telah berubah lafaz (diringankan) menjadi “Siti” yang maknanya sama dengan “sayyidati”.
 
Demikian pula halnya terhadap cucu Rasuullah Saw. yaitu Hasan dan Husein radhiyallahu ‘anhuma. Al-Bukhari dan At Turmuzi meriwayatkan sebuah hadits dengan isnad yang sahih bahwa pada suatu hari Rasulullah Saw. Bersabda :
“Hasan dan Husein adalah dua orang yang akan menjadi sayyid para pemuda ahli surga”.
 
Abu Bakar ash Shiddiq dan Umar bin al-Khattab radhiyallahu‘anhuma, kedua-duanya juga disebut sayyid oleh Rasulullah Saw.
 
Ibnu Majah, Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang berasal dari Abu Sa’id al-Khudri r.a bahwa Rasulullah Saw. Bersabda :
“Abu Bakar dan Umar adalah dua sayyid para sesepuh ahli surga baik dari kalangan terdahulu maupun terkemudian kecuali para Nabi dan Rasul”.

Ketika Sa’ad bin Mu’az diangkat oleh Rasulullah Saw. sebagai penguasa kaum Yahudi Bani Quraizhah (setelah mereka tunduk kepada kekuasaan kaum muslimin), Rasulullah Saw. mengutus seseorang untuk memanggilnya. Sa’ad-pun datang sambil berkendaraan yakni menunggang keledai. Melihat hal itu Rasulullah Saw. berkata kepada orang-orang yang hadir :
“Berdirilah untuk menghormati sayyid kalian atau orang yang terbaik diantara kalian”. 

Setelah dikemukakan sekian banyak hadits Nabi yang mengindikasikan tentang bolehnya menggunakan sayyid ketika menyebut nama Rasulullah Saw., apakah mereka yang tidak setuju masih tetap bersikeras menentang penggunaan sayyidina ketika menyebut nama beliau ? Apakah mereka itu tidak khawatir akan dikesankan sebagai orang yang mengingkari martabat Rasulullah Saw. sebagai Sayyidul Anbiya’ wal Mursalin (Penghulu sekalian Nabi dan Rasul)? 

Kalau diketengahkan sebuah hadits riwayat Ka’ab bin Ajroh yang berkata :
“Pernah Nabi Saw. keluar menuju kami lalu kami berkata ‘‘Sesungguhnya kami telah mengetahui bagaimana mengucap salam kepadamu, lalu bagaimanakah kami akan menghaturkan shalawat untukmu ? Nabi Saw. menjawab : Ucapkanlah “Alloohumma shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad hingga akhirnya” dimana dalam hadits ini tidak disebutkan lafaz sayyidina, lalu berdasarkan hadits ini disimpulkan bahwa mengucap sayyidina adalah bid’ah dhalalah, maka kesimpulan ini adalah satu kesimpulan yang tidak tepat dan tergesa-gesa. 

Pada hadits tersebut Nabi Saw. ditanya oleh sahabatnya bagaimana cara mengucap shalawat kepada beliau ? Dan karena shalawat yang ditanyakan itu adalah berkenaan dengan diri beliau sendiri, maka sebagai orang yang tawaadhu’ dan tidak suka menyombongkan diri akan terasa berat bagi beliau untuk mencantumkan sayyidina pada nama beliau karena sayyidina itu adalah gelar kebesaran; Oleh karena itu, maka Nabi Saw. tidak menjawab pertanyaan sahabat itu dengan :
Jangankan Nabi Muhammad Saw. yang berdasarkan penuturan para ulama adalah syadiidal hayaa’ wat tawaadhu’ (sangat pemalu dan suka merendahkan diri), kita saja akan merasa berat dan merasa tidak enak menyebut-nyebut gelar pada nama kita. 

Cobalah kita bertanya pada seseorang siapa namanya ? Walaupun pada hakekatnya dia telah bergelar professor atau doctor tetapi tentu dia tidak akan merasa enak untuk menyebut-nyebut gelarnya itu. Dia pasti hanya mencukupkan diri dengan menyebut namanya saja. 

Tetapi walaupun ia tidak mau menyebutkan gelarnya itu kepada kita, namun apabila kita sendiri yang akan menyebut namanya, maka sebagai tanda kita menghormati dia, tentunya akan lebih baik kalau gelarnya itu kita cantumkan. 

Nah, Begitu jugalah halnya dengan Nabi kita Muhammad Saw., walaupun beliau tidak menyebutkan gelar sayyidina diketika beliau mengajarkan tata-cara bershalawat namun sebagai adab dan penghormatan kita kepada beliau, sepatutnyalah kita cantumkan gelar sayyidina itu apabila kita menyebut-nyebut nama beliau atau mengucapkan shalawat untuk beliau. 

Oleh karena itulah, maka Syaikh Ibrahim al-Bajuri menjelaskan di dalam kitab beliau Hasiyatul Bajuri jilid I/156 :
“Yang lebih utama adalah menyebut sayyidina karena yang afdhal adalah menerapkan sikap adab”.
 
Demikian pula pendapat Syaikh Sihabuddin al-Qalyubi di dalam kitabnya jilid I/167 :
“Bahkan menyebut sayyidina yang afdhal karena di dalamnya terdapat pelaksanaan perintah beserta penerapan adab”.

Dan juga penjelasan Syaikh Ibnu Qasim al-Ubbadi di dalam Hasiyah kitab Tuhfatul Muhtaj jilid I/268:
“Dan telah masyhur fatwa ulama tentang tambahan sayyidina sebelum Muhammad”.
 
Sedangkan dalam kitab Hasiyah Sanusi halaman 8 ditegaskan bahwa fatwa yang rojih (kuat) adalah : “Menjalankan adab didahulukan daripada menjalankan perintah”.

Selanjutnya mari kita perhatikan sebuah penjelasan yang tersebut dalam kitab Nailul Authar oleh Imam Syaukani jilid II/302 :
“Sesungguhnya telah diriwayatkan dari Ibnu Abdissalam bahwa beliau menjadikan penggunaan “sayyidina” itu sebagian daripada bab “Menjalankan Adab” yaitu didasarkan kepada kaidah bahwa menempuh jalan adab lebih disukai daripada menjalankan perintah. Hal ini dikuatkan oleh hadits Abu Bakar ketika Nabi Saw. memberikan perintah kepada beliau agar tetap ditempatnya (untuk menjadi imam shalat) lalu beliau tidak melaksanakan perintah itu dan berkata : “Tidak sepatutnya bagi anak Abi Quhafah untuk maju dan berdiri dihadapan Rasululah Saw.”. Dan begitu juga keengganan Ali bin Abi Thalib untuk menmghapus nama Nabi Saw. dan surat perjanjian pada perdamaian Hudaibiyah sesudah Nabi memberi perintah untuk melakukannya. Ketika itu Ali berkata “Aku tidak mau meughapus namamu selama-lamanya”. Kedua hadits ini terdapat dalam sahih Bukhari. Maka pengakuan Nabi Saw. terhadap sikap Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib perihal keengganan menjalankan perintah dengan tujuan menjalankan adab adalah menunjukkan keutamaan hal tersebut”.
 
Demikianlah beberapa penjelasan seputar kemusykilan yang diajukan berkaitan dengan sabda Nabi Saw. dalam riwayat Ka’ab bin Ajroh yang hanya memerintahkan para sahabat untuk mengucapkan shalawat dengan menyebut nama beliau tanpa kata “sayyidina”. 

Sebenarnya, meski terdapat riwayat yang tidak menyebutkan kata sayyidina dalam pengajaran beliau tentang tata cara mengucapkan shalawat -dan untuk hal tersebut telah dijelaskan maksud yang terkandung di dalamnya- namun dalam beberapa riwayat lainnya yang bersifat pengkhabaran (informasi) justru terdapat pengakuan yang jelas bahwa Nabi Saw. adalah seorang sayyid. Bukhari dan Muslim, masing-masing di dalam Shahihnya meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. Bersabda :
“Saya adalah sayyid anak Adam” 

Ibnu Abbas r.a mengatakan bahwa makna sayyid dalam hadits tersebut adalah orang yang paling mulia di sisi Allah. Qatadah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. adalah seorang sayyid yang tidak pernah dapat dikalahkan oleh amarahnya.
 
Dalam hadits riwayat Ahmad, lbnu Majah dan Turmuzi terdapat sebuah hadits dimana Rasulullah Saw. Bersabda :
“Saya adalah sayyid anak Adam di hari kiamat nanti”.
 
Riwayat lain yang disampaikan oleh Ahmad, Bukhari dan Muslim menjelaskan bahwa Rasulullah Saw. bersabda :
“Saya adalah sayyid semua manusia di hari kiamat”.
 
Hadits ini oleh Rasulullah Saw. sendiri diberikan makna sebagai berikut : -
“Pada hari kiamat nanti, Adam dan para nabi lainnya akan berada dibawah benderaku”.
 
Riwayat dari Abu Nu’aim sebagaimana tercantum dalam kitab “Dalaa’ilun Nubuwwah” menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. Bersabda :
“Saya adalah sayyid kaum mukminin jika mereka telah dibangkitkan nanti”.

Sedangkan hadits riwayat al-Khatib mengatakan bahwa Rasulullah Saw. Bersabda :
“Saya adalah imam kaum muslimin dan sayyid orang-orang yang bertakwa”.

Semua hadits yang tersebut diatas adalah mutawatir dan itu menunjukkan dengan jelas bahwa Rasulullah Saw. adalah sayyid. Maka tidaklah diragukan lagi bahwa menggunakan kata sayyidina untuk mengawali penyebutan nama Rasulullah Saw. adalah satu hal yang tepat dan sangat pantas dilakukan oleh setiap muslim yang mencintai beliau. 

Bahkan terdapat sebuah hadits yang dengan terang menunjukkan bahwa beliau lebih suka dipanggil dengan sayyidina. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Hakim dalam Al-Mustadrak dengan isnad shahih berasal dari Jabir bin Abdullah yang mengatakan sebagai berikut :
“Pada suatu hari aku melihat Rasulullah Saw. naik keatas mimbar. Setelah memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah Swt. beliau bertanya “Siapakah aku ini ?” . Kami menjawab “Rasulullah!”. Beliau berkata : “Ya benar, tetapi siapakah aku ini ?”.Kami menjawab : “Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutthalib bin Hisyam bin Abdi Manaf!”. Beliau kemudian berkata “Aku adalah sayyid anak Adam”.

Ada sementara orang yang tidak setuju penggunaan kata sayyidina diketika menyebut nama Rasulullah Saw. mengajukan sebuah hadits yang berbunyi :
“Jangan kalian menyebutku sayyid di dalam shalat”. 

Tampaknya orang tersebut sudah kepayahan mencari dalil untuk menolak penggunaan kata sayyidina sehingga hadits itulah yang terpaksa diajukannya. Padahal hadits tersebut sudah dinyatakan oleh para ulama sebagai hadits palsu (maudhu). Dalam kitab Al-Hawi, Jalaluddin as-Suyuthi ketika menjawab pertanyaan tentang hadits itu berkata dengan tegas bahwa hadits itu tidak pernah ada alias batil. Al-Hafiz as-Sakhawi dalam kitab “Al-Maqashidul Hasanah” mengaskan bahwa hadits itu tidak karuan sumbernya. Jalaluddin al-Mahalli, Syamsur Ramli, lbnu Hajar al-Haitsami, Imam al-Qari serta para ahli fiqh madzhab Syafi”i dan Maliki mengatakan bahwa hadits itu sama sekali tidak benar. 

Kecuali itu terdapat indikasi lain yang betul-betul memastikan hahwa hadits itu adalah hadits palsu yakni penggunaan kata tusayyidu. Hal ini karena dalam bahasa arab tidak terdapat kata kerja (fi’il) yang berakar kata “sayyada” kemudian menjadi “yusayyidu”. Yang ada hanyalah "sawwada” menjadi “yusawwidu” yang berarti memuliakan. Tidaklah mungkin sama sekali bahwa Rasulullah Saw, yang digelari oleh para pujangga arab dengan afshahu naathiqin bid dhad yakni orang yang paling fasih mengucapkan kata-kata arab justru malah menggunakan kata-kata yang tidak dikenal oleh orang arab sendiri. Karenanya penggunaan kata yang tidak tepat dalam hadits itu termasuk satu indikasi yang menguatkan kepalsuan hadits tersebut.

Sunday 23 October 2016

Fatwa Ulama Tentang Hukum Membaca "Ushalli" Sebelum Takbiratul Ihram

Berikut ini kita coba perhatikan beberapa fatwa ulama mengenai talaffuz bin-niyyah ini. 

1. Berkata Imarn Nawawi dalam kitab Al-Minhaj :
“Niat itu tempatnya di dalam hati dan disunnatkan melafazkannya sesaat sebelum takbir” 

2. Berkata Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj II/12 :
“Dan disunnatkan melafazkan apa yang diniatkan sesaat menjelang takbir agar supaya lisan dapat menolong hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syaz yakni menyimpang. Kesunnatan ini juga karena qiyas terhadap adanya pelafazan dalam niat haji”. 


3. Berkata Imam Ramli dalam Nihayatul Muhtaj jilid 1/437:
“Dan disunnatakan melafazkan apa yang diniatkan sesaat menjelang takbir agar supaya lisan menolong hati dan karena pelafazan itu dapat menjauhkan dari was-was dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkan “. 

Memperhatikan pernyataan Ibnu Hajar Al-Haitami dan Imarn Ramli yang mengatakan bahwa diantara tujuan pelafazan niat itu adalah “Agar lisan dapat menolong hati” dan “Agar terjauhkan dari was-was” menunjukkan adanya semangat ijtihad dikalangan para ulama agar hati sebagai tempat niat dapat lebih terkonsentrasi (khusyu’) diketika melakukan niat itu. Sehingga dianjurkan agar sebelum hati melakukan niat sebaiknya diucapkan dulu niat tersebut agar setelah itu hati kita dapat lebih mantap melakukannya. Memang sangat dirasakan manfaat dari pengucapan dengan lisan itu. Contoh sederhana ketika seseorang hendak menghitung sesuatu. Andai dicukupkan menghitung dalam hati saja dengan satu, dua, tiga dan seterusnya, maka kemungkinan hati menjadi bimbang sangatlah besar. Tetapi apabila mengucapkan satu, dua , tiga dan seterusnya itu disertai dengan lisan kita, maka hati kita akan lebih mantap dalam melakukan penghitungan. Cobalah anda menghitung sesuatu dengan diam, cukup dengan hati saja. Kemudian anda bandingkan dengan menghitung yang disertai ucapan lisan. Pasti anda akan merasakan perbedaannya. 

Terakhir perlu kiranya kita ketahui bagaimana pendapat Imam Madzhab yang empat dalam masalah talaffuz bin-niyyah ini . 

Tersebut dalam kitab A1-Fiqhul Islami karangan Dr. Wahbah Zuhaili jilid 1/767 :
“Disunnatkan melafazkan niat menurut jumhur ulama selain madzhab Maliki”. 

Adapun menurut madzhab Maliki diterangkan dalam kitab yang sama jilid 1/214 bahwa :
“Yang utama adalah tidak melafazkan niat kecuali bagi orang yang berpenyakit was-was, maka disunnatkanlah baginya melafazkan agar hilang daripadanya keragu-raguan “. 

Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa : “Sunnat melafazkan niat shalat atau membaca ushalli sesaat menjelang takbirotul ihram dengan tujuan agar lidah menolong hati atau agar terhindar dari was-was (kebimbangan dan keragu-raguan)”. Fatwa ini adalah fatwa dalam madzhab Hanafi, madzhab Syafi’i dan madzhab Hambali. Adapun madzhab Maliki, maka disunnatkan bagi yang berpenyakit was-was saja. Oleh karena itu mengatakan talaffuz bin-niyyah sebagai amalan yang bid’ah berarti menuduh Imam Madzhab yang empat beserta seluruh pengikutnya sebagai pelaku bid’ah yang akan masuk dalam neraka. Na’uuzubillaahi min zaalik! Semoga kita terhindar dari menuduh sesama muslim apalagi ulama-ulama yang besar dengan tuduhan keji sepenti ini.

Hukum Membaca "Ushalli" Sebelum Takbiratul Ihram Saat Shalat

talaffuz bin-niyyah

Masalah ini disebut juga dengan masalah talaffuz bin-niyyah yakni mengucapkan niat dengan lisan sesaat menjelang takbirotul ihram. Tujuan dari talaffuz bin-niyyah ini menurut kitab-kitab fiqh adalah : 
 “Agar lidah menolong hati”

Hal ini dikarenakan niat yang sebenarnya terletak di dalam hati tetapi untuk memantapkan hadirnya niat di dalam hati, maka boleh dibantu dengan lisan yakni melafazkan niat itu terlebih dahulu sebelum menghadirkannya di dalam hati. 

Dengan demikian melafazkan niat adalah termasuk amalan lisan. Setiap perbuatan atau perkataan yang keluar dari seorang mukallaf selalu dicatat oleh malaikat. Perkataan yang baik tercatat sebagai amalan yang baik, begitu pula halnya perkataan yang jelek akan tercatat sebagai amalan yang jelek. Allah Swt. berfirman :
“Tidaklah seseorang itu mengucapkan suatu perkataan melainkan disisinya ada malaikat pencatat amal kebaikan dan amal kejelekan” (Al-Qaf: 18) 

Kalau kita hendak shalat, lalu kita mengucapkan seumpama : “Ushalli Fardho Subhi Rok’ataini Lillahi Ta’ala”, maka kalimat apakah ini ? Tentu semua sepakat bahwa ini adalah kalimat yang baik. Dan Allah Swt. telah berfirman :
“Kepada Allah jualah naiknya kalimat yang baik” (Al-Faathir : 10) 

Begitu pula halnya kalau seseorang mengucapkan kalimat yang jelek seperti ejekan terhadap orang-orang yang melakukan kebajikan atau ejekan terhadap fatwa-fatwa ulama yang sudah menguasai sumber hukum Islam yang utama yakni Al-Qur’an dan Hadits, baik secara tersurat (tekstual) maupun secara tersirat (kontekstual). Semua ucapan itu akan direkam oleh malaikat sebagai kalimat ejekan yang dapat merugikan pelakunya kelak di hari kiamat. 

Selanjutnya marilah kita perhatikan beberapa keterangan dari hadits-hadits yang sahih yang menunjukkan bahwa Nabi kita Muhammad Saw. ada melakukan talaffuz bin-niyyah itu. 

1. Diriwayatkan dari Abu Bakar Al-Muzanni dari Anas ra. beliau berkata :
“Aku pernah mendengar Rasulullah Saw. melakukan talbiyah haji dan umrah bersama-sama sambil mengucapkan “Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah untuk melakukan haji dan umrah”. (HR. Bukhari Muslim) 

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. mengucapkan niat atau talaffuz bin-niyyah diwaktu beliau melakukan haji dan umrah. 

2. Diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin ra. beliau berkata :
“Pada suatu hari Rasulullah Saw. berkata kepadaku : “Wahai Aisyah, apakah ada padamu sesuatu untuk dimakan ? Aisyah menjawab “wahai rasulullah, tidak ada pada kami sesuatu-pun. Mendengar itu Rasulullah Saw. bersabda: “Kalau begitu hari ini aku puasa”. (HR. Muslim) 

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. mengucapkan niat atau talaffuz bin-niyyah diketika beliau hendak berpuasa sunnat. 

3. Diriwayatkan dari jabir, beliau berkata :
“Aku pernah shalat Idul Adha bersama Rasulullah Saw., maka ketika beliau hendak pulang dibawakanlah beliau seekor kambing lalu beliau menyembelihnya sambil berkata: “Dengan nama Allah, Allah maha Besar. Ya Allah, inilah kurban dariku dan dari orang-orang yang tidak sempat berkurban diantara ummatku “. (HR. Ahmad, Abu Daud dan Turmuzi) 

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulutlah Saw. mengucapkan niat atau talaffuz bin-niyyah diketika beliau menyembelih kurban. 

Di dalam kitab Az-Zarqani yang merupakan syarah dari Al Mawahib Al-Ladunniyah karangan Imam Qasthalani jilid X/302 disebutkan sebagai berikut :
“Terlebih lagi yang telah tetap dalam fatwa para sahabat kita (ulama Syafiiyah) bahwa sunnat menuturkan ushalli itu. Sebagian ulama mengqiyaskan hal tersebut kepada riwayat yang tersebut dalam shahihain yakni kitab hadits Bukhari Muslim. Pertama : Hadits riwayat Muslim dan Anas bahwa beliau mendengar Nabi Saw. bertalbiyyah untuk haji dan umrah secara bersamaan sambil berkata : “Labbaik, sengaja saya mengerjakan umrah dan haji. Kedua Hadits riwayat Bukhari dari Umar bahwa beliau mendengar Rasulullah Saw. bersabda ketika tengah berada di Wadi Aqiq: “Shalatlah engkau di lembah yang penuh berkah ini dan ucapkan “Sengaja aku umrah di dalam haji”. Semua ini jelas menunjukkan adanya pelafazan niat. Dan hukum sebagaimana dia tetap dengan nash juga bisa tetap dengan qiyas “. 

Demikian uraian Imam Qasthalani tentang alasan disunnatkannya ucapan ushalli sesaat menjelang takbirotul ihram itu. 

Baca juga fatwa ulama tentang bacaan "Ushalli" atau talaffuz bin-niyyah sebelum takbiratul ikhram : Fatwa Ulama Tentang Bacaan "Ushalli" Sebelum Takbiratul Ihram Saat Shalat

Wednesday 21 September 2016

Pendapat Empat Imam Madzhab Tentang Qunut

pendapat imam madhab soal qunut.
Sebelumnya sudah dibahas mengenai Alasan Orang Yang Membantah Kesunnahan Qunut Dan Jawaban Atas Bantahannya, dan artikel lanjutan dari pembahasan seputar qunut kali iini penulis akan keengahkan pendapat imam madzhab (4 imam madzhab) tentang qunut.

Berikut ini adalah Pendapat Imam Madzhab yang Empat Tentang Qunut :
a. Madzhab Hanafi : Disunnatkan qunut pada shalat witir dan tempatnya adalah sebelum ruku’. Adapun qunut pada shalat Subuh tidak disunnatkan. Sedangkan qunut nazilah disunnatkan tetapi pada shalat yang jahriyyah saja. 

b. Madzhab Maliki : Disunnatkan qunut pada shalat Subuh dan tempatnya yang lebih utama adalah sebelum ruku’, tetapi boleh juga dilakukan sesudah ruku’. Adapun qunut pada selain subuh yakni qunut witir dan qunut nazilah, maka keduanya dimakruhkan. 

c. Madzhab Syafi’i : Disunnatkan qunut pada shalat Subuh dan tempatnya sesudah ruku’. Begitu juga disunnatkan qunut nazilah dan qunut witir pada pertengahan bulan ramadhan. 

d. Madzhab Hambali : Disunnatkan qunut pada shalat witir dan tempatnya sesudah ruku’. Adapun qunut pada shalat Subuh tidak disunnatkan. Sedangkan qunut nazilah disunnatkan dan dilakukan pada shalat Subuh saja.

Demikianlah rangkaian artikel pembahansan tentang kesunnahan qunut, semoga dapat memberikan manfaat.

Alasan Orang Yang Membantah Sunnah Qunut Dan Jawaban Atas Bantahannya

dalil bantahan qunut, jawaban yang membantah qunut
Artikel lanjutan dari postingan sebelumnya tentang Lafadz Doa Qunut Menurut Sunnah akan penulis ketengahkan, pembahasan lanjutan kali ini mengenai Alasan Orang-orang yang Membantah kesunnahan qunut beserta jawaban ulama syafi'iyyah akan bantahan tersebut.

a. Ada orang yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw. melakukan qunut satu bulan saja berdasarkan hadits Anas ra. :
“Bahwasanya Nabi Saw. melakukan qunut selama satu bulan sesudah ruku sambil mendoakan kecelakaan atas beberapa suku arab kemudian beliau meninggalkannya “. (HR. Bukhari Muslim) 

Jawaban : Bahwa hadits Anas tersebut kita akui sebagai hadits yang sahih karena terdapat dalam sahih Bukhari dan Muslim. Akan tetapi yang menjadi permasalahan sekarang adalah kata-kata : “Tsumma Tarokahu“ (Kemudian Nabi meninggalkannya). Apakah yang ditinggalkan oleh Nabi itu? Meninggalkan qunutkah? Atau meninggalkan berdoa yang mengandung kecelakaan atas suku arab? 

Untuk menjawab permasalahan ini marilah kita perhatikan baik-baik penjelasan Imam Nawawi dalam A1-Majmu’ III/505 : 
“Adapun jawaban terhadap hadits Anas dan Abi Hurairoh ra. dalam hal ucapannya dengan “Tsumma Tarokahu“, maka maksudnya adalah meninggalkan doa kecelakaan atas orang-orang kafir itu dan meninggalkan pelaknatan lerhadap mereka saja, bukan meninggalkan seluruh qunut. Atau maksudnya itu adalah meninggalkan qunut pada selain subuh. Penafsiran seperti ini harus dilakukan karena hadits Anas dalam ucapannya : “Senantiasa Nabi qunut dalam shalat Subuh sehingga beliau meninggal dunia” adalah sahih lagi jelas, maka wajiblah menggabungkan diantara keduanya” 

Imam Baihaqi meriwayatkan dari Abdurrahman bin Madiyyil Imam bahwasanya beliau berkata : “Innama Tarokta La’nu” (Hanyalah yang beliau tinggalkan itu adalah melaknat). Lebih-lebih lagi penafsiran seperti ini dijelaskan oleh riwayat Abu Hurairoh r.a yang berbunyi :
“Kemudian Nabi menghentikan doa kecelakaan atas mereka”. 

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan babwa qunut Nabi yang satu bulan itu adalah qunut nazilah dan qunut inilah yang ditinggalkan bukan qunut pada waktu shalat Subuh. 

b. Ada juga orang-orang yang tidak menyukai qunut mengajukan dalil yakni Hadits Sa’ad bin Thariq yang juga bernama Abu Malik al-Asja’i :
“Dari Abu Malik al-Asja’i, beliau berkata : Aku pernah bertanya kepada bapakku, wahai bapak! Sesungguhnya engkau pernah shalat dibelakang Rasulullah Saw., Abu Bakar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib disini di Kufah selama kurang lebih lima tahun. Apakah mereka melakukan qunut? Dijawab oleh bapaknya : “Wahai. anakku, itu adalah bid’ah”. (HR. Turmuzi) 

Jawaban : Kalau benar Saad bin Thariq mengatakan demikian, maka sungguh suatu hal yang mengherankan karena hadits-hadits tentang Nabi dan para Khalifah Rosyidin yang melakukan qunut sangatlah banyak baik di dalam kitab Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Abu Daud, Nasa’i dan Baihaqi. Oleh karena itu, maka ucapan Saad bin Thariq tersebut tidaklah diakui dan tidak terpakai dalam madzhab Syafi’i dan juga madzhab Maliki. Hal ini disebabkan karena beribu-ribu orang telah melihat Nabi melakukan qunut, begitu pula dengan sahabat-sahabat beliau. Sedangkan hanya Thariq sendiri yang mengatakan qunut itu sebagai amalan bid’ah. Maka dalam kasus ini berlakulah kaidah ushul fiqih yakni “Al-Mutsbit muqaddam ‘alan naafi” ( Orang yang yang menetapkan didahulukan alas orang yang menafikan). 

Terlebih lagi bahwa orang yang mengatakan “ada” jauh lebih banyak dibanding orang yang mengatakan “tidak ada” Seperti inilah jawaban Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ III/505. Beliau berkata sebagai berikut :
“Dan jawaban kita terhadap hadits Saad bin Thariq adalah bahwa riwayat orang-orang yang menetapkan qunut terdapat pada mereka itu tambahan ilmu dan juga mereka lebih banyak. Oleh karenanya wajiblah mendahulukan mereka”. 

Pensyarah hadits Turmuzi yakni Ibnul Arabi juga memberikan komentar yang sama terhadap hadits Saad bin Thariq itu. Beliau mengatakan “Telah tetap bahwa Nabi Muhammad Saw. melakukan qunut dalam shalat Subuh. Telah tetap pula bahwa Nabi pernah melakukan qunut sebelum ruku atau sesudah ruku’. Telah tetap pula bahwa Nabi pernah melakukan qunut nazilah dan para khalifah di Madinah-pun melakuan qunut serta sayyidina Umar mengatakan bahwa qunut itu sunnat, telah pula diamalkan di masjid Madinah. Oleh karena itu janganlah kamu ambil perhatian terhadap ucapan yang lain daripada itu”. 

Seorang ulama ahli fiqih dari Jakarta bernama KH.Syafi’i Hazami dalam kitabnya Taudhiihul Adillah mengatakan ketika mengomentari hadits Saad bin Thariq itu : “Sudah terang qunut itu bukan bid’ah menurut segala riwayat yang ada, maka yang bid’ah itu adalah meragukan kesunnatannya sehingga masih bertanya pula”. 

Dengan demikian dapatlah kita pahami ketegasan Imam Uqaili yang mengatakan bahwa Abu Malik itu jangan diikuti haditsnya dalam hal qunut. (Lihat Mizanul l’tidal Il/122). 

c. Ada juga yang mengetengahkan riwayat dari Ibnu Mas’ud yang mengatakan :
“Rasulullah Saw. tidak pernah qunut di dalam shalat apapun”. 

Jawaban : Riwayat ini menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ sangatlah dhaif karena diantara perawinya terdapat Muhammad bin Jabir as-Suhaili yang ucapannya selalu ditinggalkan oleh ahli hadits. Tersebut dalam kitab Mizanul l’tidal karangan Az-zahabi bahwa Muhammad bin Jabir as-Suhaimi adalah orang yang dhaif menurut perkataan Ibnu Mu’in dan Imam Nasai. Imam Bukhari mengatakan : “la tidak kuat”. Imam Ibnu Hatim mengatakan: “la dalam waktu terakhirnya menjadi pelupa dan kitabnya telah hilang”. (Mizanul I’tidal III/492). 

Dan juga kita dapat menjawab dengan jawaban terdahulu bahwa orang yang mengatakan “ada” lebih didahulukan daripada orang yang mengatakan “tidak ada” berdasarkan kaidah : “Al-Mutsbit muqaddam alan naafl”.

d. Ada yang mengajukan dalil bahwa Ibnu Abbas berkata :.
 “Qunut pada shalat Subuh itu bid’ah” 

Jawaban : Hadits ini dhaif sekali karena Baihaqi meriwayatkannya dari Abi Laila al-Kufi dan beliau sendiri mengatakan bahwa hadits ini tidak sahih karena Abu Laila itu adalah matruk (Orang yang ditinggalkan haditsnya). Terlebih lagi pada haditsnya yang lain Ibnu Abbas sendiri mengatakan :
“Bahwasanya Nabi Saw. melakukan qunut pada shalat Subuh”. 

e. Ada juga yang mendatangkan dalil bahwa Ummu Salamah berkata :
“Bahwasanya Nabi Saw. melarang qunut pada shalat Subuh”. 

Jawaban : Hadits ini juga dhaif karena diriwayatkan dari Muhammad bin Ya’fa dari Anbasah bin Abdurrahrnan dari Abdullah bin Nafi’ dari bapaknya dari Ummu Salamah. Berkata Daruqutni : “Ketiga-tiga orang itu lemah dan tidak benar kalau Nafi’ mendengar hadits itu dari Ummu Salamah”. Tersebut dalam Mizanul I‘tidal : “Muhammad bin Ya’Ia itu diperkatakan oleh Imam Bukharii bahwa ia banyak menghilangkan hadits. Abu Hatim mengatakannya bahwa ia matruk” (Mizanul I‘tidal IV/70). 

Anbasah bin Abdurrahman menurut Imam Bukhari haditsnya matruk. Sedangkan Abdullah bin Nafi adalah orang yang banyak meriwayatkan hadits mungkar. (Mizanul I’tidal II/422). 

Artikel selanjutnya mengenai pendapat 4 madzhab (Syafi'i, Hambali, Maliki, Hanafi) tentang kesunnahan qunut dalam shalat subuh, selengkapnya bisa dilihat disini : Pendapat Empat Imam Madzhab Tentang Qunut

Lafadz Doa Qunut Sesuai Sunnah

doa qunut, arti doa qunut, lafal doa qunut
Telah dibahas pada kesempatan sebelumnya mengenai Hukum Mengangkat Tangan Ketika Qunut menurut fikih islam, dan saat ini penulis akan berikan artikel tentang lafadz doa qunut sesuai tuntunan hadist dan para ulama.

Tersebut dalam sebuah hadits dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra. Beliau berkata :
“Aku telah diajari oleh Rasulullali Saw. beberapa kalimat yang aku ucapkan pada waktu witir yakni : Alloohummah dinii fiiman hadait….hingga akhirnya”. (HR. Abu Daud, Turmuzi, Nasai dan selain mereka dengan isnad yang sahih) 

Imam Baihaqi meriwayatkan dari Muhammad bin Hanafiah dan beliau adalah Ibnu Ali bin Abi Thalib ra. Beliau berkata :
“Sesungguhnya doa ini adalah yang dipakai berdoa oleh bapakku pada waktu qunut di shalat Subuh” (Al-Baihaqi II/209) 
Imam Baihaqi juga meriwayatkan dan beberapa jalan yakni dari Ibnu Abbas dan selainnya :
“Bahwasanya Nabi Saw. mengajarkan doa ini (Yakni Alloohummah dinii fiiman hadait….hingga akhirnya) kepada para sahabat agar mereka berdoa dengannya pada waktu qunut di shalat Subuh”. 
Dalam satu riwayat disebuikan :
“Bahwasanya Nabi Saw. melakukan qunut pada shalat Subuh dan pada witir dimalam hari dengan doa ini”. 

Imam Baihaqi menyimpulkan : “Semua riwayat ini menunjukkan bahwa Nabi mengajarkan doa Alloohummahdinii fiiman hadait hingga akhirnya itu adalah untuk qunut subuh dan qunut witir”. 
Doa qunut dengan delapan kalimat seperti tersebut diatas itulah yang dinashkan oleh Imam Syafi’i di dalam Mukhtashar Al-Muzanni. Kalau ditambah pada doa itu dengan “Wala Yaizzu Man ‘Adait” (Dan tidaklah mulia orang yang Engkau musuhi) sebelum “Tabaarokta Robbana wata’alaet”, dan ditambah dengan “Falakal Hamdu ‘Ala Maa Kodoit Astaghfiruka Wa’atubu Ilaika” sesudahnya, maka tidaklah mengapa. Berkata Syaikh Abu Hamid, Syaikh al-Bandaniji dan yang lainnya bahwa tambahan ini bagus.
Abu Thayyib tidak menyetujui penambahan “Wala Yaizzu Man ‘Adait” itu namun Ibnu Shabbagh dan para sahabat yang lain membantahnya dengan firman Allah Swt. :
“Wahai orang-orang yang beriman, Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia”. (QS. Al-Mumtahanah : 1)

Begitu juga dengan firman Allah :
“Sesungguhnya Allah menjadi musuh bagi orang-orang kafir”. (QS. A1-Baqarah : 98)

Kemudian sesudah doa ini, disunnahkan membaca shalawat atas Nabi Saw. berdasarkan hadits al-Hasan ra. Beliau berkata :
“Rasulullah Saw. mengajariku beberapa kalimat pada waktu qunut witir yakni “Alloohummahdini, lalu disebutlah hingga delapan kalimat itu dan berkata pada akhirnya dengan “Tabarokta wata’alait washallahu ‘alannabiyyi”. (Lafaz hadits ini terdapat pada riwayat Nasai dengan isnad yang sahih atau hasan) 

Begitu juga disunnatkan piembaca salam di akhir qunut. Hal mi -menurut Asnawi- berdasarkan firman Allah Swt. :
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya menyam paikan shalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, sampaikanlah shalawat dan salam kepadanya“. 

Adapun disunnatkannya shalawat dan salam kepada keluarga adalah berdasarkan kepada hadits riwayat Ka’ab bin Ajroh yang bertanya kepada Nabi tentang bagaimana mengucapkan shalawat kepada beliau, lalu beliau bersabda :
“Ucapkanlah : Alloohumma shalli ‘alaa Muhammad wa alaa Muhammad“. 

Sedangkan disunnatkannya shalawat dan salam kepada para sahabat adalah karena qiyas kepada para keluarga. Hal ini berdasarkan ucapan para ulama :
“Kesunnatan shalawat kepada para sahabat dapat diambil pengertiannya dari kesunnatan shalawat kepada para keluarga karena apabila shalawat itu disunnatkan kepada para keluarga sedangkan diantara mereka ada yang tidak termasuk sahabat, maka menyampaikan shalawat kepada para sahabat adalah lebih utama”. 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa doa qunut pada shalat Subuh dan pada shalat witir di pertengahan bulan ramadhan adalah sebagai berikut : 

lafad doa qunut

Artikel selanjutnya kan membahas alasan orang yang membantah tentang adanya qunut, dan disertai juga jawaban-jawaban ulama syafi'iyyah atas bantahan tersebut, selengkapnya bisa anda liha disini : Alasan Orang Yang Membantah Sunnah Qunut Dan Jawaban Atas Bantahannya

Tuesday 20 September 2016

Hukum Mengangkat Tangan Pada Waktu Qunut

cara qunut
Pembahasan sebelumnya telah kami sampaikan mengenai Kapan Qunut Dilakuan, Sebelum Ruku atau Sesudah Ruku (silahkan membacanya terlebih dahulu). Pada kesempatan kali ini penulis akan sampaikan tentang hukum mengangkat tangan saat membaca qunut.

Dalam masalah ini ada dua pendapat :
a. Tidak disunnatkan mengangkat tangan pada waktu qunut. Pendapat ini dipilih oleh as-Syairozi, Al-Qaffal dan Al-Baghawi serta dihikayatkan oleh Imam Haramain dan mayoritas sahabat Syafi’i. Alasan mereka : “Karena doa di dalam shalat tidak pakai angkat tangan seperti doa sujud, doa tasyahhud dan doa iftitah". 

b. Disunnatkan mengangkat tangan pada waktu qunut. Pendapat inilah yang sahih dikalangan madzhab Syafi’i dan dialah pilihan Abu Daud al-Marwazi, Al-Qadhi Abu Thayyib di dalam ta’liqnya dan dalam Al-Minhaj, Syaikh Abu Muhammad, Ibnus Shabbag, Al-Mutawalli, AI-Ghazali, Syaikh Nasrun Al-Maqdisi dalam tiga kitabnya yakni Al-lntikhab, At-Tahzib dan Al-Kafi. Begitu juga dengan para ulama yang lain. Pengarang Al-Bayan berkata : “Inilah pendapat mayoritas ulama-ulama Syafi’i” . Imam Hafiz Abu Bakar al-Baihaqi yang merupakan ulama ahli fiqih dan hadits juga memilih pendapat ini dan beliau berhujjah dengan riwayat Anas r.a sewaktu menceritakan para qurro’ yang terbunuh. Anas berkata :
“Sesungguhnya aku melihat Rasulullah SAW. setiap kali beliau shalat Subuh, beliau menganngkat kedua tangannya sambil mendoakan kecelakaan atas mereka yakni orang-orang yang membunuh para qurro”. (Hadits ini isnadnya sahih atau hasan) 

Imam Baihaqi mengatakan :
“Dan karena sekumpulan sahabat Nabi radhiallahu anhum mengangkat tangan mereka pada waktu qunut” (Al-Baihaqi II/211) 

Diriwayatkan dari Rofi’, beliau berkata :
“Aku pernah shalat dibelakang Umar bin Khattab ra. Beliau qunut sesudah ruku’ dan mengangkat kedua tangannya serta membaca doa dengan bersuara”. (Imam Baihaqi berkata : Hadis tentang Umar ini sahih) 

Dengan demikian dapatlah ditarik satu kesimpulan bahwa pendapat yang sahih dikalangan madzhab Syafi’i adalah : “Sunnat mengangkat tangan pada waktu qunut, baik itu qunut subuh, qunut nazilah maupun qunut witir di pertengahan bulan ramadhan sebagaimana yang akan dijelaskan berikutnya“. 

Adapun mengusap wajah sesudah qunut, maka menurut pendapat yang sahih tidak disunnatkan. Dalam Al-Majmu’ III/501, Imam Baihaqi mengatakan : “Aku tidak pernah menghafal dari seorang ulama salaf perihal mengusap wajah sesudah qunut walaupun mengusap wajah itu ada diriwayatkan dan sebagian mereka pada waktu berdoa di luar shalat. Adapun di dalam shalat, maka mengusap wajah adalah satu perbuatan yang tidak ada keterangannya baik dari hadits, atsar maupun qiyas, maka yang utama adalah tidak mengerjakannya dan mencukupkan saja dengan apa yang telah dinukil dari para ulama salaf yakni “mengangkat dua tangan dengan tanpa mengusap wajah”.

Artikel selanjutnya tentang bacaan qunut yang sisunnahkan sesuai syareat dapat and abaca dalam artikel : Lafadz Doa Qunut Sesuai Sunnah

Kapan Qunut Dilakukan, Sesudah Atau Sebelum Ruku’ ?

waktu qunut, saat qunut, pelaksanaan qunut
Tersebut dalam Al-Majmu’ jilid III/506 bahwa : “Tempat qunut itu adalah sesudah mengangkat kepala dari ruku’. Ini adalah ucapan Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab dan Utsman serta Ali radhialloohu ‘anhum”. 

Mengenai dalil-dalil qunut sesudah ruku’ :
Pertama, Hadits dari Abu Hurairah :
“Bahwa Nabi Saw. qunut sesudah ruku” (HR. Bukhari Muslim) 

Kedua, Hadits dari Ibnu Sinin, beliau berkata :
“Aku berkata kepada Anas : Apakala Rasulullah Saw. melakukan qunut pada shalat Subuh? Anas menjawab : Ya, begitu selesai ruku”. (HR. Bukhari Muslim) 

Ketiga, Hadits dari Anas ra. :
“Bahwa Nabi Saw. melakukan qunut selama satu bulan sesudah ruku’ pada shalat Subuh sambil mendoakan kecelakaan atas Bani ‘Ushayyah” (HR. Bukhari Muslim) 

Keempat, Hadits dari Awam bin Hamzah dan Rofi’ yang sudah disebutkan pada dalil-dalil tentang kesunnatan qunut subuh (baca : Dalil-Dalil Kesnunnahan Qunut Subuh). 

Kelima, Riwayat dari Ashim al-Ahwat dari Anas :
“Bahwa Anas berfatwa tentang qunut sesudah ruku”. 

Keenam, Hadits dari Abu Hurairah ra. beliau berkata : 
“Rasulullah Saw. jika beliau mengangkat kepalanya dari ruku’ pada rakaat kedua shalat Subuh beliau mengangkat kedua tangannya lalu berdoa : “Alloohummah dini fiiman hadait…hingga akhirnya”. (HR. Hakim dan dia mensahihkannya) 

Ketujuh, Riwayat dari Salim dan Ibnu Umar ra. :
“Bahwasanya Ibnu Umar mendengar Rasulullah Saw. apabila beliau mengangkat kepalanya dari ruku pada rakaat terakhir shalat Subuh, beliau berkata : “Ya, Allah. Laknatlah si fulan dan si fulan“, sesudah beliau mengucapkan sami‘alloohu liman hamidah robbana walakal hamdu. Maka Allah menurunkan ayat “Tidak ada bagimu sesuatupun dari urusan mereka itu atau dari pemberian taubat terhadap mereka atau juga daripada pengazaban mereka karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang zolim “. (HR. Bukhari) 

Hadits ini dan juga hadits yang menunjukkan qunut nazilah yang pernah dilakukan oleh Nabi. Qunut nazilah adalah qunut diketika turun bencana baik itu bencana peperangan, pembunuhan dan bencana-bencana lainnya. 

Terlihat jelas bahwa pada qunut nazilah pun Nabi melakukannya sesudah ruku’ seperti halnya qunut subuh. Memang ada dijumpai beberapa hadits yang menunjukkan pelaksanaan qunut sebelum ruku’ namun terhadap hal tersebut Imam Baihaqi mengatakan sebagaimana tersebut dalam Al-Majmu’ : 

“Dan orang-orang yang meriwayatkan qunut sesudah ruku’ lebih banyak dan lebih kuat menghafal hadits, maka dialah yang lebih utama dan inilah jalannya para khalifah yang memperoleh petunjuk, -semoga Allah meridhai mereka- pada sebagian besar riwayat dari mereka, walloohu a‘lam”. 

Selanjutnya akan dibahas tentang apakah pada saat qunut disyaratkan mengangkat tangan ?, untuk pembahasan tersebut dapat dibaca pada artikel : Hukum Mengangkat Tangan Pada Waktu Qunut

Dalil-Dalil Kesunnahan Qunut Subuh

hadist qunut subuh
Pada Postingan yang lalu telah disampaikan mengenai Hukum Membaca Qunut Subuh, dan pada kesempatan kali ini penlis akan menyajikan tentang dalil qunut. Berikut ini dikemukakan dalil-dalil tentang kesunnahan qunut subuh yang diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Hadits dari Anas ra.
“Bahwa Nabi Saw. pernah qunut selama satu bulan sambil mendoakan kecelakaan atas mereka kemudian Nabi meninggalkannya. Ada pun pada shalat Subuh, maka Nabi senantiasa melakukan qunut hingga beliau meninggal dunia”. 

Hadits ini diriwayatkan oleh sekelompok huffaz dan mereka juga ikut mensahihkannya. Diantara ulama yang mengakui kesahihan hadits ini adalah Hafiz Abu Abdillah Muhammad Ali al-Balkhi dan Al-Hakim Abu Abdillah pada beberapa tempat di dalam kitabnya serta Imam Baihaqi. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Daraquthni dan beberapa jalan dengan sanad-sanad yang sahih. 

b. Hadits dari Awam bin Hamzah dimana beliau berkata :
“Aku bertanya kepada Utsman tentang qunut pada shalat Suhuh. Beliau berkata : Qunut itu sesudah ruku’. Aku bertanya : “Fatwa siapa?”. Beliau menjawab: “FawaAbu Bakar, Umar dan Utsman radhialloohu anhum“. 

Hadits ini riwayat Baihaqi dan beliau berkata : “isnadnya hasan”. Dan Baihaqi juga meriwayatkan hadits ini dari Umar dengan beberapa jalan. 

c. Hadits dari Abdullah bin Ma’qil at-Thabi’i
“Ali ra. Qunut pada shalat Subuh”. 

Diriwayatkan oleh Baihaqi dan beliau berkata : “Hadits tentang Ali ini sahih lagi masyhur” 

d. Hadits dari Barra’ ra:
“Bahwa Rasulullah Saw. melakukan qunut pada shalat Subuh dan magrib”. (HR. Muslim) 

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu Daud dengan tanpa penyebutan shalat magrib. Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ Ill/505 mengatakan : “Tidaklah mengapa meninggalkan qunut pada shalat magrib karena qunut bukanlah sesuatu yang wajib atau karena ijma’ ulama telah menunjukkan bahwa qunut pada shalat magrib itu sudah mansukh yakni terhapus hukumnya”. 

e. Hadits dari Abi Rofi’ :
“Umar melakukan qunut pada shalat Subuh sesudah ruku”. (HR. Baihaqi) 

Demikianlah beberapa dalil yang dipakai oleh ulama-ulama Syafi’iyah berkaitan dengan fatwa mereka tentang qunut subuh. 

Pembahasan lanjutan mengenai kapan qunut dilakukan ? dan dimana tempatnya ?, untuk pembahasan tersebut dapat anda baca pada artikel : Kapan Qunut Dilakukan, Sesudah Atau Sebelum Ruku’ ?

Hukum Membaca Qunut Subuh

hukum qunut, dalil qunut
Di dalam madzhab Syafi’i sudah disepakati bahwa membaca doa qunut dalam shalat subuh pada i’tidal rakaat kedua adalah sunnat ab’ad dalam arti diberi pahala orang yang mengerjakannya dan bagi yang lupa atau lalai mengerjakannya disunnatkan menambalnya dengan sujud sahwi. 

Tersebut dalam Al-Majmu’ Syarah Muhazzab jilid III/504 sebagai berikut :
“Dalam madzhab Syafi’i disunnatkan qunut pada shalat Subuh baik diketika turun bencana atau tidak. Dengan hukum inilah berpegang mayoritas ulaina salaf dan orang-orang yang sesudah mereka atau kebanyakan dari mereka. Dan diantara yang berpendapat demikian adalah Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Barro’ bin Azib, semoga Allah meridhai mereka semua. Ini diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad-sanad yang sahih. Banyak pula orang-orang tabi’in dan yang sesudah mereka berpendapat demikian inilah madzhabnya Ibnu Abi Laila, Hasan bin Shalih, Malik dan Daud”.
Dalam kitab Al-Um jilid 1/205 disebutkan bahwa Imam Syafi’i berkata :
“Tidak ada qunut pada shalat lima waktu selain shalat Subuh. Kecuali jika terjadi bencana, maka boleh qunut pada semua shalat jika imam menyukai”.

Imam Jalaluddin al-Mahalli berkata dalam kitab Al-Mahalli jilid 1/157 :
“Disunnatkan qunut pada i‘tidal rakaat kedua dari shalat Subuh dan dia adalah “Alloohummah dinii fiiman hadait.....hingga akhirnya “ 

Demikian keputusan dan kepastian hukum tentang qunut subuh dalam madzhab Syafi’i. 

Friday 16 September 2016

Hukum Melaksanakan Haji Untuk Orang Meninggal (Mayyit)

haji untuk orang mati, bilik islam
Beberapa waktu sebelumnya telah dibahas mengenai amalan yang bermanfaat untuk orang mati yakni : Bersedekah untuk orang mati, Berdoa dan membayar hutang orang mati dan Fidyah atau puasa untuk orang mati, amalan berikutnya yang memberikan manfaat adalah Berhaji untuk orang mati, yang akan penulis bahas sekarang.
 
Kalau seseorang meninggal dalam keadaan menanggung kewajiban haji, maka wajiblah dilakukan inabah yakni penggantian haji untuk si mayyit dengan ongkos perbekalan dari harta peninggalannya. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Bukhari :

“Dari Ibnu Abbas ra. bahwa seorang perempuan dari suku Juhainah datang kepada Rasululloh Saw. lalu berkata “Sesungguhnya ibuku bernazar melakukan haji tetapi sampai meninggal belum juga sempat melaksanakannya, apakah boleh saya berhaji untuknya? Nabi menjawab : Ya, berhajilah untuknya. Bagaimana kalau sekiranya ibumu nenanggung hutang, apakah kamu akan membayarkannya? Bayarlah kepada Allah! Maka sesungguhnya hutang kepada Allah lebih berhak untuk dilunasi”. 

Pada hadits ini Nabi memberi perintah agar membayar haji ibunya yang sudah meninggal dan hukum asal setiap perintah adalah wajib. Namun bila si mayyit tidak memiliki harta, maka disunnatkan bagi ahli warisnya untuk menghajikannya. 

Apabila orang yang meninggal itu lantaran sesuatu dan lain hal tidak bisa dihajikan oleh ahli warisnya, maka penggantian hajinya itu boleh dilimpahkan kepada ajnabi (orang lain). Cara seperti ini biasa disebut dengan badal haji. Dasarnya adalah hadits riwayat Abu Daud :

“Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw. pernah mendengar seorang laki-laki berkata : “Labbaik an Syubrumah (Ya Allah, saya perkenankan perintah-Mu untuk si Syubruinah). Nabi bertanya : Siapa Syubrumah itu? Dia menjawab : Saudara saya atau teman dekat saya. Nabi bertanya : Apakah engkau sudah berhaji untuk dirimu? Dia menjawab : belum. Nabi bersabda Berhajilah untuk dirimu kemudian berhajilah untuk Syubrumah!” 

Disini tampak bahwa pelaksanaan haji untuk orang yang sudah meninggal bukan dilakukan oleh anak untuk bapak atau ibunya melainkan oleh seorang saudara atau sahabat karib dari yang meninggal itu.


Apa Hukum Fidyah Atau Berpuasa Untuk Orang Meninggal (Mayit)

apa itu fidyah ? bilik islam
Dalam artikel sebelumnya sudah dijelaskan tentang Pahala Berdoa Dan Membayar Hutang Orang Meninggal (Mayit), dan dalam kesempatan kali ini penulis akan sampaikan mengenai fidyah atau puasa bagi orang meninggal. Apabila seseorang meninggal dunia sedangkan masih ada puasa ramadhan yang belum dia kerjakan, maka dilihat dulu :

1. Jika dia meninggal sebelum ada kemungkinan baginya untuk mengqadha’ seperti kondisinya yang terus menerus sakit hingga meninggal dunia, maka dia tidak perlu mengqadha’, tidak perlu membayar fidyah dan tidak ada dosa atasnya. 

2. Jika dia meninggal sesudah ada kemungkinan untuk mengqadha’ tetapi tidak juga dia lakukan, maka puasa yang belum dia lakukan itu tetap berada dalam tanggungannya. Jika yang terjadi adalah seperti pada point kedua, maka untuk penyelesaiannya terdapat dua cara dalam madzhab Syafi i yaitu

a. Menurut qaul jadid, dikeluarkan dari harta peninggalannya untuk satu hari puasa yang ditinggalkan satu mud, makanan. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Turmuzi :
“Barangsiapa meninggal dunia sedangkan masih ada tanggungan puasa atasnya, maka hendaklah diberikan, makanan atas nama orang tersebut untuk satu hari puasa satu orang miskin“. 

b. Menurut qaul qadim, dipuasakan oleh walinya. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Nasa’i.
“Dari Aisyah ra. dan Nabi Saw: beliau bersabda : Barang siapa meninggal sedangkan atasnya masih ada hutang puasa, maka walinya berpuasa untuknya”. 

Berkata Imam Nawawi : “Dalam masalah ini qaul qadim yang lebih jelas bahkan yang benar yang seyogyanya memberikan kemantapan dengannya dikarenakan hadits-hadits yang menerangkannya telah nyata-nyata sahih”. (Kifayatul Akhyar 1/211). Yang dimaksud dengan “Wali” disitu adalah kerabatnya walaupun bukan termasuk ahli waris. 

Dan hadits tersebut secara jelas dapat dipahami bahwa kalau yang berpuasa untuk mayyit tersebut adalah kerabatnya, maka tidaklah perlu izin dalam arti tidak diharuskan adanya wasiat untuk hal tersebut. Tetapi kalau yang akan melaksanakan puasa itu adalah ajnabi, maka harus ada izin dari si mayyit dalam bentuk wasiat atau izin dari kerabatnya itu. Kalau ajnabi itu berinisiatif sendiri untuk berpuasa atas nama mayyit dengan tanpa izin, maka tidaklah mencukupi. 

Dengan pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa manapun diantara dua cara menyelesaikan tanggungan puasa dari orang yang sudah meninggal, apakah dengan mengeluarkan satu mud, makanan ataukah dengan berpuasa untuknya, yang jelas kita dapati pemahaman bahwa amalan orang yang hidup dapat memberi manfaat kepada mereka yang sudah meninggal.

Amalan berikutnya yang pahalanya dapat bermanfaat untuk orang yang sudah meninggal bisa dilihat disini :
Hukum Melaksanakan Haji Untuk Orang Meninggal (Mayyit)

Pahala Berdoa Dan Membayar Hutang Orang Meninggal (Mayit)

Pahala Berdoa Dan Membayar Hutang Orang Meninggal (Mayit) akan sampai
Berdoa Untuk Mayyit
Pada postingan sebelmnya penulis sampaikan tenang Pahala Bersedekah Untuk Orang Meninggal (Mayit) bisa memberikan manfaat untuk mayit, pada kali ini penulis akan sampaikan soal doa untuk orang mati. Doa orang yang hidup untuk mereka yang sudah meninggal dapat membawa manfaat. Dalil-dalilnya adalah :
1. Al-Qur’an surat al-Hasyr ayat 10 :
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka berkata : “Wahai Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan iman“.
Ayat ini mengandung pujian terhadap sekelompok kaum mukmin yang mendoakan sesama mukmin lainnya yang sudah meninggal dunia. 

2. Hadits riwayat Abu Daud dan Utsman bin Affan : “Nabi Saw. apabila telah selesai menguburkan mayyit, maka beliau herdiri diatas pekuburan dan berkata: “mintakanlah ampun untuk saudaramu dan mohonlah kepada Allah agar dia diberikan kemantapan karena sesungguhnya dia sekarang ini sedang ditanya“.
Ini adalah perintah dari Nabi untuk mendoakan orang yang meninggal dunia. 

3. Hadits Riwayat Muslim dan Buraidah bin al-Hasib :
“Rasululloh Saw. mengajarkan para sahabat agar jika mereka keluar kepekuburan hendaknya mengucapkan “Semoga keselamatan atasmu wahai penghuni kubur dari golongan mukminin dan muslimin dan insya Allah kami akan menyusul kamu. Kami bermohon kepada Allah kesejahteraan untuk kami dan untuk kamu”
Ini menunjukkan doa yang perlu dibaca ketika memasuki pekuburan. 

Demikian petunjuk Al-Qur’an dan Hadits tentang masalah doa. Sekiranya doa tidak bermanfaat kepada orang yang sudah meninggal, tentu Nabi Saw. tidak akan mengajarkannya dan Al-Qur’anul Karim tidak akan memuji sekelompok orang yang melakukannya. 

Adapun makna dan manfaat doa untuk mayyit adalah “Berhasilnya apa yang didoakan itu untuk si mayyit apabila doa tersebut dikabulkan oleh Allah. Adapun pahala doa itu sendiri, menjadi hak orang yang berdoa. Akan tetapi pahala doa seorang anak berhasil juga untuk orang tuanya yang sudah meninggal karena amalan seorang anak termasuk amalan orang tuanya, karena orang tuanya itulah yang menjadi sebab keberadaannya di dunia. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Muslim :
“Jika manusia sudah meninggal, maka terputuslali amalannya kecuali tiga yakni sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang saleh yang selalu mendoakan orang tuanya”. 

Membayarkan Hutang Untuk Mayyit
Apabila seseorang berhutang kemudian belum juga bisa diselesaikan hingga dia meninggal, maka apabila keluarganya, sahabatnya atau sesama muslim lainnya bersedia membayarkan hutangnya itu niscaya akan sangat bermanfaat kepadanya dan dia menjadi bebas dari tanggungan. Hal ini disebutkan dalam syarah Aqidah Thahawiyah hal. 454 : 

“Sepakat kaum muslimin bahwa membayarkan hutang dapat menggugurkan tanggungan mayyit walaupun perintah membayar tersebut dilakukan oleh ajnabi (orang asing) dan bukan dari harta peninggalannya. Hal yang demikian ditunjukkan oleh hadits Abi Qatadah dimana beliau ini menanggung hutang seorang mayyit sebesar dua dinar. Tatkala beliau telah mernbayarkan yang dua dinar itu Nabi Saw, be rsabda : “Sekarang bisalah dingin kulitnya”. 

Juga dalam hadits riwayat Turmuzi disebutkan :
“Dari Abi Hurairah dia berkata : Rasulullah Saw. bersabda: “Jiwa seorang mukmin terkatung-katung dengan sebab hutangnya sehingga dia dibayarkan“. 

Selanjutnya amalan yang pahalanya bermanfaat untuk orang yang sudha meninggal bisa dilihat disini :
Apa Hukum Fidyah Atau Berpuasa Untuk Orang Meninggal (Mayit)

Pahala Bersedekah Untuk Orang Meninggal (Mayit)

palaha sedekah untuk mayit, bilik islam
Sedekah yang dilakukan untuk mayyit dapat bermanfaat dan sampai pahalanya kepada mayyit tersebut. Dalil-dalil untuk hal ini adalah : 

1. Hadits Riwayat Bukhari, Muslim dan Nasa’i
 “Dari Aisyah ra. bahwasanya seorang laki-laki datang kepada Nabi Muhammad Saw. dan berkata: “Wahai Rasululloh. Sesungguhnya ibuku sudah meninggal secara tiba-tiha dan belum sempat berwasiat. Kuat dugaanku bahwa andai beliau sempat bicara niscaya beliau akan bersedekah. Apakah ibuku mendapat pahala jika aku bersedekah untuknya ? Nabi menjawab : Ya!”. 

2. Hadits riwayat Bukhari, Turmuzi dan Nasa’i :
“Dari Ibnu Abbas ra. dia berkata : Ibu Saad bin Ubadah meninggal dunia disaat dia (Saad bin Ubadah) sedang tidak ada ditempat. Maka berkatalah ia “Wahai Rasululloh. Sesungguhnya ibuku telah meninggal disaat aku sedang tidak ada disisinya, apakah ada sesuatu yang bermanfaat untuknya jika aku sedekahkan ? Nabi menjawab: Ya! Berkata Saad bin Ubadah: (Kalau begitu) saya persaksikan kepadamu (wahai Rasululloh) bahwa kebun kurma saya yang sedang berbuah itu sebagai sedekah untuknya”... 

3. Hadits Riwayat Muslim
“Dari Abu Hurairah ra. bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi Saw. : Sesungguhnya bapakku sudah wafat dan beliau meninggalkan harta tetapi tidak ada wasiat, apakah mencukupi jika aku bersedekah untuknya ? Nabi menjawab: Ya! “. 

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa sedekah yang dilakukan oleh orang yang masih hidup dan diniatkan pahalanya untuk mereka yang sudah meninggal akan dapat membawa manfaat dan pahala sedekah itu sampai kepadanya. 

Akan tetapi kandungan hadits-hadits tersebut mengesankan bahwa sedekah yang dapat memberi manfaat kepada orang yang sudah meninggal itu adalah apabila dilakukan oleh seorang anak dan diniatkan untuk ibu atau bapaknya yang sudah meninggal. Namun demikian kesan seperti ini ditepis dalam Al-Majmu’ jilid 15/522 : “Imam Nawawi telah menghikayatkan ijma’ ulama bahwa sedekah itu dapat terjadi untuk mayyit dan sampai pahalanya dan beliau tidak mengaitkan bahwa sedekah itu harus dari seorang anak”. 

Hal senada juga diungkapkan oleh Syaikh Bakri Syatha Dimyati dalam kitab I’anatut Thalibin jilid III/218 : “Dan sedekah untuk mayyit dapat memberi manfaat kepadanya baik sedekah itu dari ahli warisnya ataupun dari yang selainnya”. 

Adapun dalil-dalil para ulama dalam hal sampainya kemanfaatan pahala sedekah untuk orang yang sudah meninggal walaupun bukan dari anaknya adalah sebagai berikut : 

1. Hadits riwayat Turmuzi
“Dari Hanas bahwasanya Ali Karromallohu wajhah berkorban dengan dua ekor kibas. Yang satu (pahalanya) untuk Nabi Muhammad Saw. dan yang kedua (pahalanya) untuk beliau sendiri. Maka ditanyakanlah hal itu kepada sayyidina Ali dan beliau menjawab : Nabi Saw. memerintahkan saya untuk melakukan hal demikian, maka saya selalu memperbuat dan tidak meninggalkannya “. 

Mafhum hadits ini bahwa sesuai perintah Nabi Saw., sayyidina Ali selalu berkorban dengan dua ekor kibas, yang satu untuk Nabi dan yang satunya lagi untuk beliau sendiri. Ali selalu melakukan yang demikian disetiap tiba musim korban. Maka nyatalah dari hadits tersebut bahwa sedekah seseorang bisa bermanfaat kepada orang lain walaupun bukan dari seorang anak kepada ibu atau bapaknya. 

2. Hadits Riwayat Muslim
Aisyah menceritakan bahwasanya Rasululloh Saw. menyuruh didatangkan seekor kibas untuk dikorbankan. Setelah didatangkan beliau berdoa :
“Bismillah. Ya, Allah terimalah (korban ini) dari Muhammad, keluarga Muhammad dan dari ummat Muhammad! Kemudian Nabi menyembelihnya“. 

Hadits ini menunjukkan hadiah pahala korban dari Nabi untuk para keluarganya dan bahkan untuk segenap ummatnya. Pengarang kitab Bariqatul Muhammadiyah mengomentari hadits tersebut dengan katanya :
“Doa Nabi Saw. itu menunjukkan bahwa Nabi menghadiahkan pahala korbannya kepada ummatnya dan ini merupakan pengajaran dari beliau bahwa seseorang itu bisa memperoleh manfaat dari amalan orang lain. Dan mengikuti petunjuk beliau tersebut berarti berpegang dengan tali yang teguh”. 

Imam Nawawi dalam syarah Muslim jilid 8/187 juga mengomentari hadits tersebut dengan katanya :
“Diperoleh dalil dari hadits ini bahwa seseorang boleh berkorban untuk dirinya dan untuk segenap keluarganya serta mempersekutukan mereka bersama dirinya dalam hal pahala. Inilah madzhab kita dan madzhab jumhur”. 

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa orang yang sudah meninggal dapat memperoleh manfaat dari sedekah yang dilakukan oleh orang lain yang mana pahalanya dihadiahkan kepadanya. Orang lain tersebut tidak mesti harus anak dari orang yang sudah meninggal itu, tapi bisa juga saudara, teman dekat maupun sesama muslim lainnya. Dan orang yang menghadiahkan pahala sedekah tersebut -disamping pahala sedekahnya sampai kepada orang yang dituju- juga akan memperoleh pahala. Hal ini dinyatakan oleh Imam Ramli dalam Nihayatul Muhtaj jilid 6/ 92 : “Berkata Imam Syafi’i ra. : “Dan luaslah karunia Allah Taala untuk memberi pahala kepada orang yang bersedekah juga. Dan dari sanalah, maka para ashab berkata : Disunnatkan bagi seseorang untuk meniatkan sedekah untuk kedua ibu bapaknya karena sesungguhnya Allah Swt. akan memberi pahala kepada keduanya dan pahala orang yang bersedekah itu sendiri tidak akan berkurang sedikitpun”

Pahala amalan yg sampai dihadiahkan untuk orang yang sudah meninggal berikutnya bisa dilihat disini :

Thursday 15 September 2016

Amalan-Amalan Lain Yang Juga Bermanfaat Untuk Orang Mati

amalan untuk orang yang sudah mati
Beberapa waktu sebelumnya sudah diposting terkait beberapa pendapat ulama tenang sampainya hadiah pahala bacaan dan amalan untuk orang mati (baca : Pendapat Ibnu Taimiyah Dan Ibnul Qayyim Tentang Sampainya Hadiah Pahala Amalan Untuk Orang Mati). Kali ini penulis akan ulas Amalan-amalan Lain yang Juga Bermanfaat Untuk Orang Mati.

Setelah kita membahas dengan agak panjang lebar masalah membaca Al-Qur’an untuk orang mati sehingga kitapun dapat mengetahui validitas (keabsahan) amalan tersebut, maka berikut ini kami coba ketengahkan amalan-amalan lain yang juga sangat bermanfaat untuk orang mati. Namun demikian perbedaan pendapat dalam beberapa amalan ini -kalaupun ada- tidaklah separah perbedaan pada membaca Al-Qur’an untuk orang mati. 

Dan amalan-amalan ini yang juga disertai dengan dalil-dalil yang kuat dapat menjadi tambahan bukti bahwa mayyit itu masih dapat memperoleh manfaat dengan amalan-amalan orang lain yang masih hidup. Sehingga hadits Nabi yang berbunyi :

dan juga firman Allah :


Praktis tidak boleh dipahami secara zohirnya saja (tekstualis) karena pemahaman seperti ini akan menyebabkan terjadinya perbenturan dengan beberapa dalil yang lain termasuk dalil-dalil beberapa amalan berikut yang semuanya menunjukkan bahwa ternyata amalan yang masih bisa dirasakan manfaatnya oleh sang mayyit tidak hanya tiga seperti yang tersebut dalam hadits ini dan juga bahwa mayyit masih bisa memperoleh manfaat dari amalan orang lain. Karenanya firman Allah diatas mesti dipahami seara komprehensip (berpadu dengan dalil-dalil yang lain), bukan hanya dengan pemahaman mentah yang selalu cenderung mengabaikan dalil-dalil lain. 

Beberapa amalan dimaksud adalah : 
(silahkan buka tautan dibawah ini untuk pembahasan lebih lengkap)

Dan selanjutnya kita akan coba bahas secara agak rinci satu persatu, berikut dengan dalil-dalilnya pada pembahasan berikutnya..

Pendapat Ibnu Taimiyah Dan Ibnul Qayyim Tentang Sampainya Hadiah Pahala Amalan Untuk Orang Mati

pendapat ibnu taimiyah, pendapat ibnu qayyim
Dalam postingan artikel sebelumnya sudah dibahas tentang Dalil-Dalil Orang yang Membantah Adanya Hadiah Pahala Amalan Dan Bacaan Untuk Orang Mati Dan Jaaban atas bantahannya, pada postingan kali ini penulis akan sampaikan Pendapat Ibnu Taimiyah Dan Ibnul Qayyim Tentang Amalan Untuk Orang Mati.

Dalam tafsir Jamal jilid IV disebutkan bahwa Ibnu Taimiyah berkata : “Barangsiapa meyakini bahwa seseorang tidak dapat mengambil manfaat kecuali dengan amalnya sendiri, maka sungguh dia telah melanggar ijma’ dan yang demikian itu adalah batil" dengan alasan-alasan berikut : 
1. Seseorang dapat mengambil manfaat dengan doa orang lain dan ini adalah mengambil manfaat dengan amal orang lain. 

2. Nabi Saw. akan memberi syafaat lerhadap orang-orang di padang mahsyar dalam hal hisab dan terhadap calon-calon penghuni surga dalam hal masuk ke dalamnya. ini berarti seseorang mengambil manfaat dengan usaha orang lain. 

3. Nabi Saw. akan memberi syafaat terhadap para pelaku dosa besar dalam hal keluar dari neraka dan ini adalah mengambil manfaat dengan usaha orang lain. 

4. Para malaikat akan berdoa dan beristigfar untuk penghuni bumi dan ini adalah bentuk kemanfaatan dengan amal orang lain. 

5. Allah Swt. akan mengeluarkan dari neraka orang-orang yang sedikitpun tidak ada amalnya dengan semata-mata rahmatnya dan ini adalah pengambilan manfaat dengan selain amal mereka. 

6. Anak-anak yang mukmin akan masuk surga dengan amal-amal bapak mereka dan ini adalah mengambil manfaat dengan semata-mata amal orang lain. 

7. Allah Swt. berfirman dalam kisah dua anak yatim di surat Al-Kahfi dimana bapaknya adalah orang saleh lalu kedua anak yatim itu mengambil manfaat dengan kesalehan bapaknya dan bukan dari usaha kedua anak yatim tersebut. 

8. Orang yang meninggal dapat mengambil manfaat dengan sedekah orang lain untuknya dan juga dengan pembebasan budaknya berdasarkan sunnah dan ijma’ dan ini adalah mengambil manfaat dengan amal orang lain. 

9. Haji yang fardhu dapat gugur dan orang yang sudah meninggal dengan sebabdihajikan oleh walinya berdasarkan hadits dan ini adalah pengambilan rnanfaat. dengan ama! orang lain. 

10. Haji dan puasa yang dinazarkan dapat gugur dari orang yang sudah meninggal dengan sebab dilakukan oleh orang lain, dan ini adalah mengambil manfaat dengan amal orang lain. 

11. Seseorang yang masih punya hutang tidak mau dishalatkan oleh Rasululloh Saw. sehinggga hutangnya dibayarkan oleh Abu Qatadah dan hutang orang yang selainnya dibayarkan oleh Ali bin Abi Thalib dan akhirnya kedua orang itu dapat mengambil manfaat dengan shalat Rasululloh atasnya dan ini adalah dari amal orang lain. 

12. Nabi Saw. pernah berkata kepada orang yang shalat sendiri :
“Adakah yang mau bersedekah untuk orang ini..?”, maka shalatlah seseorang bersamanya dan diapun mendapatkan fadhilah berjamaah dengan perbuatan orang lain. 

13. Seseorang bisa bebas dari tanggungan hutang apabila ada orang lain yang sudah membayarkannya dan ini adalah mengambil manfaat dengan amalan orang lain. 

14. Barangsiapa melakukan kejahatan terhadap orang lain lalu orang lain itu menghalalkannya, maka gugurlah kejahatan itu daripadanya dan ini adalah mengambil manfaat dengan amalan orang lain. 

15. Tetangga yang saleh dapat memberi manfaat baik dalam kehidupan ini maupun sesudah mati sebagaimana tersebut dalam hadits dan ini adalah pengambilan manfaat dengan amalan orang lain. 

16. Orang yang duduk dengan ahli zikir akan diberi rahmat dengan berkah ahli zikir itu sedangkan dia bukanlah diantara mereka dan duduknya itupun bukan untuk zikir melainkan untuk keperluan tertentu dan sudah jelas lagi bahwa segala amalan tergantung niat, maka nyatalah bahwa orang itu telah mengambil manfaat dengan amalan orang lain. 

17. Shalat untu.k mayyit dan berdoa untuknya di dalam shalat adalah pemberian untuk mayyit dengan shalatnya orang yang hidup dan itu adalah amalan orang lain. 

18. Shalat jumat terjadi dengan berkumpulnya beberapa orang begitu juga halnya shalat berjamaah, semakin banyak orang yang berkumpul semakin besar fadhilahnya. Ini adalah pengambilan manfaat dan sebagian orang terhadap sebagian yang lain. 

19. Allah Swt. berfirman kepada Nabi Muhammad Saw.:
“Tidaklah Allah akan mengazab mereka sedangkan engkau masih ada diantara mereka”.
“Kalaulah bukan karena laki-laki yang mukinin dan perempuan-perempuan yang mukmin”. (Al-Fath : 25) 

“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia terhadap sebagian yang lain niscaya rusaklah bumi ini. (Al-Baqarah : 25). 

Dalam ayat-ayat tadi Allah Swt. mengangkat azab terhadap sebagian manusia dengan sebab sebagian yang lain dan ini adalah pengambilan manfaat dengan amalan orang lain. 

20. Zakat fitrah wajib atas anak kecil dan orang lain yang masih ditanggung biaya hidupnya, maka dia mengambil manfaat untuk yang demikian itu dan orang yang mengeluarkan zakat fitrah tersebut untuknya sedangkan dia tidak ada usaha di dalamnya. 

21. Zakat mal wajib pada harta anak kecil dan harta orang gila dan dia diberi pahala atas yang demikian padahal dia tidak ada usaha padanya.

Kesimpulan Syaikh Ibnul Qayyim
Berikut ini kami sampaikan kesimpulan dan pernyataan Syaikh Ibnul Qayyim dalam masalah ini sebagaimana tersebut dalam kitab Al-Ulama wa aqwaaluhum fii sya’nil amwat wa ahwaalihim hal. 36-37: 

“Nash-nash ini jelas menerangkan sampainya pahala amalan untuk mayyit apabila dikerjakan oleh orang yang hidup untuknya karena pahala itu adalah hak bagi yang mengamalkan, maka apabila dia menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim tidaklah tercegah yang demikian itu sebagaimana tidak tercegah orang yang menghadiahkan hartanya dimasa hidupnya dan membebaskan piutangnya untuk seseorang sesudah matinya. Rasululloh Saw. menegaskan sampainya pahala puasa yang hanya terdiri dari niat dan tidak, makan minum yang semua itu hanya diketahui oleh Allah, maka sampainya pahala bacaan yang merupakan amalan lisan yang didengar oleh telinga dan disaksikan oleh mata adalah terlebih utama”. 

Artikel lanjutan dari pembahasan ini dapat dilihat di :
Amalan-Amalan Lain Yang Juga Bermanfaat Untuk Orang Mati

Dalil-Dalil Orang yang Membantah Adanya Hadiah Pahala Amalan Dan Bacaan Untuk Orang Mati

bilik islam
Pada kesempatan sebelumnya, penulis sudah posting pembahasan tentang Contoh-Contoh Fatwa Imam Syafi’i Yang Dikritisi Kembali Oleh Ulama Syafi'iyyah, dan sekarang penulis akan ketengahkan tulisan lanjutan tentang Dalil-dalil Orang yang Membantah Adanya Hadiah Pahala dan amalan bacaan Al-Quran untuk orang mati.

1. Hadits riwayat muslim :
“Jika manusia meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak soleh yang selalu mendoakan orang tuanya” 

Mereka berkata : Kata-kata inqata’a amaluhu (putus amalnya) dalam hadist tersebut menunjukkan bahwa amal-amal apapun kecuali yang tiga itu tidak akan sampai pahalanya kepada mayyit. 

Jawab : Tersebut dalam syarah Thahawiyah hal. 456 bahwa sangat keliru berdalil dengan hadits tersebut untuk menolak sampainya hadiah pahala kepada orang yang sudah meninggal karena dalam hadits tersebut tidak dikatakan : inqata’a intifa’uhu (terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat). Hadits itu hanya mengatakan “terputus amalnya”. Adapun amal orang lain, maka itu adalah milik dari amil yakni orang yang mengamalkannya. Jika dia menghadiahkannya kepada si mayyit, maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepadanya. Jadi yang sampai itu adalah pahala “amil” (orang yang berbuat atau mengamalkan) bukan pahala amal si mayyit itu. Hal ini sama dengan orang yang berhutang lalu dibayarkan oleh orang lain, maka bebaslah dia dari tanggungan hutang. Akan tetapi bukanlah yang dipakai membayar hutang itu miliknya. Jadi terbayarnya hutang itu bukan oleh dia melainkan oleh orang lain. Ini menunjukkan bahwa dia telah memperoleh manfaat (intifa’) dan amal orang lain. 

2. Firman Allah dalam surat An-Najm ayat 39 :
“Tidaklah ada bagi seseorang itu kecuali apa yang dia usahakan“.
Mereka berkata : Bukankah ini menunjukkan bahwa amal orang lain tidak akan bermanfaat bagi orang yang sudah mati karena itu bukan usahanya. Dengan demikian dalam islam tidak ada yang dinamakan hadiah pahala.
Jawab : Banyak sekali jawaban para ulama terhadap dimajukannya ayat tersebut sebagai dalil untuk menolak adanya hadiah pahala. Diantara jawaban-jawaban tersebut adalah sebagai berikut : 

a. Dalam kitab Syarah Thahawiyah hal. 455 diterangkan dua jawaban untuk ayat tersebut :
1. Manusia dengan usaha dan pergaulannya yang santun memperoleh banyak kawan dan sahabat, melahirkan banyak anak, menikahi beberapa isteri,, melakukan hal yang baik untuk masyarakat dan menyebabkan orang-orang cinta dan suka kepadanya. Maka banyaklah diantara orang-orang itu yang menyayanginya. Merekapun berdoa untuknya dan menghadiahkan pula pahala dan ketaatan-ketaatan yang sudah dilakukannya, maka itu adalah bekas dan usahanya sendiri. Bahkan masuknya seorang muslim bersama golongan kaum muslimin yang lain di dalam ikatan Islam adalah merupakan sebab yang paling besar daiam hal sampainya kemanfaatan dari masing-masing kaum muslimin kepada yang lainnya baik di dalam kehidupan ini maupun sesudah mati nanti dan doa kaum muslimin akan meliputi kaum muslimin yang lain. Dalam satu penjelasan disebutkan bahwa Allah SWT. menjadikan iman sebagai sebab untuk memperoleh kemanfaatan dengan doa serta usaha dari kaum mukminin yang lain. Maka jika seseorang sudah berada dalam iman, maka dia sudah berusaha mencari sebab yang akan menyampaikannya kepada yang demikian itu. (Dengan demikian apabila ketaatan yang dihadiahkan kepadanya oleh kaum mukminin adalah sebenamya bagian dari usahanya sendiri). 

2. Ayat Al-Qur’an itu tidak menafikan adanya kemanfaatan untuk seseorang dengan sebab usaha orang lain. Ayat A-Quran itu hanya menafikan kepemilikan seseorang terhadap usaha orang lain. Dua perkara ini jelas berbeda. Allah SWT hanya mengkhabarkan bahwa itu tidak akan memiliki kecuali apa yang dia usahakan sendri. Adapun usaha orang lain, maka itu adalah milik bagi siapa yang mengusahakannya. Jika dia mau, dia boleh menetapkannya kepada orang lain dan pula jika dia mau dia boleh menetapkannya untuk dirinya sendiri. (jadi lam pada lil insane itu adalah lil-istihqaq, yakni menunjukkan arti “milik”)

Demikianlah dua buah jawaban yang dipilih oleh pengarang kitab Syarah Thahawiyah. 

b. Berkata pengarang tafsir Khazin :
“Yang demikian itu adalah untuk kaum Ibrahim dan Musa. Adapun ummat Islam, maka mereka bisa mendapat pahala dari usahanya dan juga dari usaha orang lain”. 

Jadi ayat Al-Qur’an diatas menerangkan hukum yang terjadi pada syariat Nabi Musa dan Nabi Ibrahim, bukan hukum dalam syariat Nabi Muhammad Saw. Hal ini dikarenakan pangkal ayat tersebut berbunyi :
“Atau belumkah dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab-kitab Nabi Musa dan Nabi Ibrahim yang telah memenuhi kewajibannya bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain yang diusahakannya”. 

c. Sahabat Nabi, ahli tafsir yang utama Ibnu Abbas ra. berkata dalam menafsirkan ayat tersebut :
“Ayat ini telah dinasakh (dibatalkan) hukumnya dalam syariat kita dengan firman Allah Taala : “Kami hubungkan dengan mereka anak-anak mereka”, maka dimasukkanlah anak ke dalam surga berkat kebaikan yang diperbuat oleh bapaknya.” (tafsir Khazin juz IV/223) 

Firman Allah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas sebagai penasakh surat an-Najm ayat 39 itu adalah surat at-Thur ayat 21 yang lengkapnya sebagai berikut :
“Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dengan iman, maka Kami hubungkan anak cucu mereka itu dengan mereka dan Kami tidaklah mengurangi sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya”. 

Jadi menurut Ibnu Abbas, surat an-Najm ayat 39 itu sudah terhapus hukumnya, berarti sudah tidak bisa dimajukan sebagai dalil. 

d. Tersebut dalam Nailul Authar juz IV/102 bahwa kata-kata “Tidak ada bagi seseorang itu“ Maksudnya tidak ada dari segi keadilan (mim thariqil adli), adapun dari segi karunia (mim thariqil fadhli), maka ada bagi seseorang itu apa yang tidak dia usahakan.

Demikianlah beberapa penafsiran terhadap ayat :


Banyaknya penafsiran ini adalah demi untuk tidak terjebak kepada pengamalan dengan zohir ayat semata-mata karena kalau itu dilakukan, maka akan banyak sekali dalil-dalil lain baik dari Al-Qur’an maupun hadits-hadits sahih yang akan ditentang oleh ayat tersebut sehingga akan menjadi gugur dan tidak terpakai. 

3. Dalil mereka yang ketiga adalah firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 286:
“Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan kesanggupannya. Baginya apa yang dia usahakan (daripada kebaikan) dan akan menimpanya apa yang dia usahakan (daripada kejaha tan) “.  

Mereka berkata : Bukankah ayat ini menunjukkan bahwa usaha orang lain tidak akan didapatkan pahalanya dan kejahatan orang lain tidak akan dipikulkan dosanya. 

Jawab : Kata-kata : “Lahaa ma kasabat” menurut ilmu Balagah tidak mengandung unsur hasr (pembatasan). Oleh karena itu artinya cukup dengan : “Seseorang mendapatkan apa yang dia usahakan”. Kalau artinya seperti ini, maka kandungannya tidaklah menafikan bahwa dia akan mendapatkan dari usaha orang lain. Hal ini sama dengan ucapan : “Seseorang akan memperoleh harta dari usahanya”. Ucapan ini tentu tidak menafikan hahwa seseorang akan memperoleh harta bukan dari usahanya karena bisa saja dia memperoleh harta dari pusaka orang tuanya, pemberian orang kepadanya atau hadiah dari sanak famili dan para sahabatnya. Lain hal kalau susunan ayat itu mengandung hasr seperti : “Laisa lahaa illa maa kasabat”

Artinya : “Tidak ada baginya kecuali apa yang dia usahakan atau seseorang hanya mendapat apa yang dia usahakan“. 

4. Dalil mereka yang keempat adalah firman Allah dalam surat Yaasin ayat 54 :
“Tidaklah mereka diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan “. 

Jawab : Ayat ini tidak menafikan hadiah pahala terhadap orang lain karena pangkal ayat tersebut adalah :
Yang artinya : “Pada hari dimana seseorang tidak akan dizalimi sedikitpun dan seseorang tidak akan diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan “. 

Jadi dengan memperhatikan konteks ayat tersebut dapatlah dipahaini bahwa yang dinafikan itu adalah disiksanya seseorang dengan sebab kejahatan orang lain, bukan diberikannya pahala terhadap seseorang dengan sebab amal kebaikan orang lain (Lihat Syarah Thahawiyah hal. 456).

5. Dalil mereka yang kelima adalah
“Bahwa membaca Al-Quran untuk mayyit tidak dikenal dan tidak diamalkan oleh ulama-ulama salaf dan juga tidak ada petunjuk dari Nabi Saw., lalu kenapakah hal itu dilakukan oleh orang-orang sekarang ? 

Jawab : Kalau orang yang membantah itu mengakui sampainya pahala haji, puasa dan doa, maka apakah perbedaan yang demikian itu dengan sampainya pahala membaca Al-Qur’an? Adapun keadaan orang-orang salaf yang tidak melakukannya, maka itu bukanlah sebagai satu hujjah untuk tidak sampainya pahala bacaan. Kalau mereka berkata “Rasululloh Saw.. ada memberi petunjuk tentang hadiah pahala puasa, haji dan sedekah sedangkan mengenai hadiah pahala membaca Al-Quran tidak ada petunjuknya dari beliau”, maka dijawab bahwa Nabi mengatakan yang demikian adalah sebagai satu jawaban. Ada yang bertanya tentang haji untuk orang yang mati, maka beliau mengizinkan, begitu juga ada yang bertanya tentang puasa untuk orang yang mati lalu beliaupun mengizinkan dan Nabi tidak melarang untuk selain yang demikian. Lalu apakah perbedaan sampainya pahala puasa yang semata-mata niat dan imsak dengan sampainya pahala bacaan dan zikir ? (Syarah Aqidah Thahawiyah hal. 457). 

6. Dalil mereka yang keenam :
“Yang sudah nyata-nyata disyariatkan adalah berdoa untuk mayyit. Kenapa tidak itu saja yang dilakukan tanpa harus capek-capek membaca Al-Qur’an, tahlil dan zikir terlebih dahulu.

Jawab : Sudah pula dijelaskan bahwa bagi yang membaca Al-Qur’an, tahlil dan zikir, maka pahalanya itu adalah untuk yang membaca, kemudian dia berdoa kepada Allah agar pahalanya membaca Al-Qur’an, tahlil dan zikir itu disampaikan kepada orang yang sudah meninggal. Disini apanya yang tidak boleh ? Dia minta kepada Allah di dalam doanya agar pahala yang sudah menjadi haknya itu diberikan kepada almarhum orang tuanya atau sanak kerabatnya. Imam Syaukani dalam Nailul Authar jilid IV/101 mengatakan :
“Kalau boleh berdoa untuk mayyit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh sipendoa, maka tentu kebolehan herdoa untuk mayyit dengan sesuatu yang dimiliki oleh sipendoa adalah terlebih utama“. 

Dalam hal ini orang yang berdoa telah memiliki sesuatu di dalam doanya itu yakni pahala membaca Al-Qur’an, tahlil, zikir dan lain sebagainya, maka tentu doa dalam keadaan seperti itu lebih utama. Bukankah kita sering berdoa :“Ya, Allah, berikan rezeki kepada anak-anakku..” atau “Ya Allah berikan kesuksesan kepada anak-anakku” sedangkan pendoa tersebut sama sekali tidak memiliki rezeki dan tidak punya kesuksesan sebagaimana yang disebut dalam doanya itu. Tetapi toh doa seperti ini tidak ada yang membantah apalagi melarang bahkan sangat dianjurkan. Lalu kenapa orang yang berdoa untuk menghadiahkan sesuatu yang telah dia miliki yaitu “pahala” tersebut malah justru dilarang ? Sungguh ironis dan tidak masuk akal.

Tabir Wanita